Pembangunan apapun pengertian yang diberikan terhadapnya, selalu merujuk pada upaya perbaikan, terutama perbaikan pada mutu-hidup manusia, baik secara fisik, mental, ekonomi maupun sosial-budayanya.
Terkait dengan pemahaman tersebut, tujuan penyuluhan pertanian diarahkan pada terwujudnya perbaikan teknis bertani (better farming), perbaikan usahatani (better business), dan perbaikan kehidupan petani dan masyarakatnya (better living)
Dari pengalaman pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan di Indonesia selama tiga-dasawarsa terakhir, menunjukkan bahwa, untuk mencapai ketiga bentuk perbaikan yang disebutkan di atas masih memerlukan perbaikan-perbaikan lain yang menyangkut (Deptan, 2002):
1) Perbaikan kelembagaan pertanian (better organization) demi terjalinnya kerjasama dan kemitraan antar stakeholders.
Sebagai contoh, dapat disampaikan pengalaman pelak-sanaan Intensifikasi Khusus (INSUS), di mana inovasi-sosial yang dilakukan melalui usahatani berkelompok mampu menembus kemandekan kenaikan produktiivitas (leveling off) yang dicapai melalui inovasi-teknis.
2) Perbaikan kehidupan masyarakat (better community), yang tercermin dalam perbaikan pendapatan, stabilitas keamanan dan politik, yang sangat diperlukan bagi terlaksananya pembangunan pertanian yang merupakan sub-sistem pembangunan masyarakat (community devel-opment)
Tentang hal ini, pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan pertanian tidak dapat berlangsung seperti diharapkan, manakala petani tidak memiliki cukup dana yang didukung oleh stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan bidang dan sektor kehidupan yang lain. Sebaliknya, pembangunan pertanian menjadi tidak berarti manakala tidak memberikan perbaikan kepada kehidupan masyarakatnya.
3) Perbaikan usaha dan lingkungan hidup (better enviroment) demi kelangsungan usahataninya.
Tentang hal ini, pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan dan tidak seimbang telah berpengaruh negatip terhadap produk-tivitas dan pendapatan petani, secara kerusakan lingkungan-hidup yang lain, yang dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan (sustainability) pembangunan pertanian itu sendiri.
Di samping itu, Mardikanto (2002) menambah satu hal lagi yang menyangkut pentingnya perbaikan aksesibilitas petani dan stakeholders yang lain (better accesibility), baik terhadap sumber inovasi, input usahatani (kredit, sarana produksi, alat dan mesin pertanian), pasar dan jaminan harga, serta pengambilan keputusan politik.
Hal ini terutama dilandasi oleh pernyataan Hadisapoetro (1998) yang menyebutkan bahwa petani-petani kecil yang merupakan pelaku-utama pembangunan pertanian di Indonesia pada umumnya termasuk golongan ekonomi-lemah, yang lemah dalam hal permodalan, penguasaan dan penerapan teknologi, dan seringkali juga lemah semangatnya untuk maju, karena seringkali dijadikan obyek pemaksaan oleh birokrasi maupun penyuluhnya sendiri (Soewardi, 1986).
Lebih lanjut, World Bank (2002) mensyaratkan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk terjaminnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyangkut:
1) Perbaikan modal finansial, berupa perencanaan ekonomi-makro dan pengelolaan fiskal
2) Perbaikan modal fisik, berupa prasarana, bangunan, mesin, dan juga pelabuhan.
3) Perbiakan modal SDM, berupa perbaikan kesehatan dan pendidikan yang relevan dengan pasar-kerja
4) Pengemabngan modal-sosial, yang menyangkut: ketram-pilan dan kemampuan masya-rakat, kelembagaan, kemi-traan, dan norma hubungan sosial yang lain.
5) Pengelolaan sumberdaya alam, baik yang bersifat komer-sial maupun non-komersial bagi perbaikan kehidupan manusia termasuk: air-bersih, energi, serat, pengelolaan limbah, stabilitas iklim, dan beragam layanan penun-jangnya.
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini