A. Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat
Sesuai dengan pokok-pokok pengertian tentang penyuluhan yang telah dikemukakan di atas, Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat, merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pemba-ngunan, yaitu untuk mengembangkan sasaran menjadi sumber daya manusia yang mampu meningkatkan kualitas hidup-nya secara mandiri, tidak tergantung pada “belas kasih” pihak lain. Dengan penyuluhan pembangunan, masyarakat sasaran mendapatkan alternatif dan mampu serta memiliki kebebasan untuk memilih alternatif yang terbaik bagi dirinya.
Penyuluhan sebagai proses pemberdayaan, akan menghasilkan masyarakat yang dinamis dan progresif secara berkelanjutan, sebab didasari oleh adanya motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam diri mereka.
Penyuluhan pembangunan sebagai proses pember-dayaan masyarakat, memiliki tujuan utama yang tidak terbatas pada terciptanya “better-farming, better business, dan better living, tetapi untuk memfasilitasi masyarakat (sasaran) untuk mengadopsi strategi produksi dan pemasaran agar memper-cepat terjadinya perubahan-perubahan kondisi sosial, politik dan ekonomi sehingga mereka dapat (dalam jangka panjang) meningkatkan taraf hidup pribadi dan masyarakatnya (SDC, 1995).
Sedang tugas penyuluhan tidak lagi terbatas untuk mengubah perilaku masyarakat-bawah sebagai sasaran-utamanya, tetapi untuk meningkatkan interaksi antar aktor-aktor (stakeholders) agar mereka mampu mengoptimalkan aksesibilitasnya dengan informasi agar mereka mampu meningkatkan situasi sosial dan ekonominya
Penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyara-kat, merupakan proses pemandirian masyarakat. Pemandirian bukanlah menggurui, dan juga bukan bersifat karitatip, mela-inkan mensyaratkan adanya peran-serta secara aktif dari semua pihak yang akan menerima manfaat, terutama dari kalangan kelompok sasaran itu sendiri.
Mandiri bukan berarti “berdiri di atas kaki sendiri” atau menolak bantuan dari luar. Mandiri tetap membuka diri dari “bantuan”`pihak luar yang benar-benar diyakini akan membe-rikan manfaat. Sebaliknya, mandiri harus berani menolak intervensi pihak luar yang (akan) merugikan atau menuntut korbanan lebih besar dibanding manfaat yang (akan) diterima.
B. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Istilah pemberdayaan masyarakat sebagai terjemahan dari “empowerment” mulai ramai digunakan dalam bahasa sehari-hari di Indonesia bersama-sama dengan istilah “pengen- tasan kemiskinan” (poverty alleviation) sejak digulirkannya Program Inpres No. 5/1993 yang kemudian lebih dikenal sebagai Inpres Desa Terting-gal (IDT). Sejak itu, istillah pemberdayaan dan pengentasan-kemiskinan merupakan “sau-dara kembar” yang selalu menjadi topik dan kata-kunci dari upaya pembangunan.
Hal itu, tidak hanya berlaku di Indonesia, bahkan World Bank dalam Bulletinnya Vol. 11 No.4/Vol. 2 No. 1 October-Desember 2001 telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung-tombak dari Strategi Trisula (three-pronged strategy) untuk memerangi kemiskinan yang dilaksanakan sejak memasuki dasarwarsa 90-an, yang terdiri dari: penggalakan peluang (promoting opportunity) fasilitasi pem-berdayaan (facilitating empowerment) dan peningkatan kea-manan (enhancing security).
Menurut definisinya, oleh Mas’oed (1990), pember-dayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strengthening) kepada masya-rakat. Sehubungan dengan pengertian ini, Sumodiningrat (1997) mengartikan keberdayaan masyarakat sebagai kemam-puan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat dengan keberdayaan yang tinggi, adalah masya-rakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti sifat-sifat kekeluargaan, kegotong-royongan, dan (khusus bagi bangsa Indonesia) adalah keragaman atau kebhinekaan.
Keberdayaan masyarakat, adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Karena itu, memberdaya-kan masyarakat merupakan upaya untuk (terus menerus) me-ningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat “bawah” yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat adalah mening-katkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyara-kat. Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin) untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendali-kan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat (accountable) demi perbaikan kehidupannya
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberiikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice).
Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Dasar pemikiran suatu obyek atau target group perlu diberdayakan karena obyek tersebut mem-punyai keterbatasan, ketidakberdayaan, keterbelakangan dan kebodohan dari berbagai aspek. Oleh karenanya guna meng-upayakan kesetaraan serta untuk mengurangi kesenjangan diperlukan upaya merevitalisasi untuk mengoptimalkan utilitas melalui penambahan nilai. Penambahan nilai ini dapat mencakup pada ruang bidang aspek sosial, ekonomi, kese-hatan, politik dan budaya.
Tentang hal ini, World Bank (2001) memberikan beberapa alternatif dalam fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowerment) yang dapt diilakukan pemerinrah, melalui:
1) Basis politik dan hukum yang transparan, serta membe-rikan ruang gerak bagoi demokratisasi dan mekanisme partisipatip dalam pengambilan keputusan, dan pemantau-an implementasi kegiatan.
2) Peningkatan pertumbuhan dan pemerataan administrasi publik yang bertanggung-guugat (accountability) dan responsif terhadap penggunanya.
3) Menggerakkan desentralisasi dan pengembangan-masya-rakat yang memberikan kesempatan kepada “kelompok miskin” untuk melaku-kan kontrol terhadap semua bentuk layanan yang dilaksanakan.
Desentralisasi itu sendiri harus mampu bekerjasaman dengan mekanisme lain untuk menggerakkan partisipasi masyarakat serta pemantauan lembaga-pemerintah oleh setiap warga-negara.
4) Menggerakkan kesetaraan gender, baik dalam kegiatan ekonomi maupun dalam kelembagaan politik.
5) Memerangi hambatan-sosial (social barrier), terutama yang me-nyangkut bias-bias etnis, rasial, dan gender dalam penegakan hukum,
6) Mendukung modal-sosial yang dimiliki kelompok-miskin, terutama dukungan terciptanya jejaring agar mereka keluar dari kemiskin-annya.
Dalam hubungan ini, lemabaga pemerintah perlu meningkatkan aksesibbilitas kelompok miskin terhadaop: organisasi-perantara, pasar global, dan lembaga-lembaga publik.
Bentuk, jenis dan cara pemberdayaan masyarakat atau penguatan masyarakat (strengthening community) sangat beragam, yang hanya berwujud jika ada kemauan untuk mengubah struktur masyarakat (Adam Malik dalam Alfian, 1980).
Karena itu, usaha untuk mengentaskan masyarakat dari lem-bah kemiskinan secara hakiki sama sulitnya dengan usaha memberdayakan mereka. Tugas itu bukanlah pekerjaan mudah yang bersifat instant (segera dapat dilihat hasilnya).
Pengalaman menunjukkan, upaya-upaya pengentasan kemiskinan seringkali menghadapi kendala-kendala yang sangat besar, yang berupa:
1) Usaha-usaha untuk menghambat usaha-usaha untuk membela orang-kecil atau orang miskin, yaitu:
a) lemahnya komitmen (khususnya) aparat pemerintah untuk memihak dan membela orang miskin.
b) rendahnya kepedulian untuk memperhatikan orang miskin
c) ketidak-mampuan memahami (kehidupan) orang miskin, terutama yang terkait dengan persepi dan asumsi-asumsi tentang “karakteristik” orang-miskin.
2) Kendala yang ada di (lingkungan) orang-miskin, yaitu:
a) kendala fisik alamiah, yang menyangkut kondisi sum-berdaya-alam tempat mereka (orang miskin) tinggal, seperti: kesuburan lahan, rawan bencana-alam, dll.
b) Kendala struktural yang bersumber (terutama) pada struktur sosial dalam masyarakatnya; dan kendala-kultural yang (seolah-olah) menyerah terhadap nasib (Alfian, 1980).
c) Kendala sistemik dari kemiskinan, yaitu berlang-sungnya suatu pola-pola (pengontrolan) tertentu terha-dap sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, yang disadari atau tidak, justru tidak selalu menguntungkan pihak-pihak yang telah berada pada posisi diuntungkan, seperti:
- kebijakan swa-sembada pangan (beras)
- kebijakan “pangan murah”
- prioritas pembangunan perkotaan
- dll.
C. Aspek-aspek Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagaimana telah tersirat dalam definisi yang diberikan, ditinjau dari lingkup dan obyek pemberdayaan mencakup beberapa aspek, yaitu:
1) Peningkatan kepemilikan aset (sumberdaya fisik dan finan sial) serta kemampuan (secara individual dan kelompok) untuk memanfaatkan aset tersebut demi perbaikan kehi-dupan mereka.
2) Hubungan antar individu dan kelompoknya, kaitannya dengan pemilikan aset dan kemampuan memanfaatkannya.
3) Pemberdayaan dan reformasi kelembagaan.
4) Pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, baik di tingkat lokal, regional, maupun global
D. Unsur-unsur Pemberdayaan Masyarakat
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu memperhati-kan sedikitnya 4 (empat) unsur pokok , yaitu:
1) Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru kaitannya dengan : peluang, layanan, penegakan hukum, efektivitas negosiasi, dan akuntabilitas.
2) Keterlibatan atau partisipasi, yang menyangkut siapa yang dilibatkan dan bagaimana mereka terlibat dalam kese-luruhan proses pembangunan.
3) Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan meng-atas-namakan rakyat.
4) Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan bekerja-sama, mengorganisir warga masyarakat, serta memobilisasi sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
E. Syarat Tercapainya Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masya-rakat terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu :
1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik-tolaknya adalah, pengenalan bahwa setiap manusia dan masya-rakatnya memiliki potensi (daya) yang dapat dikembang-kan.
2) Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membang-kitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
3) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembu-kaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin dalam berdaya memanfaatkan peluang.
Memberdayakan mengandung pula arti melindungi, sehinggan dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah agar tidak bertambah lemah.
Karena itu, diperlukan strategi pembangunan yang memberi-kan perhatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Srtrategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional (Sumodiningrat, 1995)
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikut-sertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebutuhan masyarakatnya.
F. Penguatan Kapasitas Masyarakat
Penguatan kapasitas adalah proses peningkatan kemampuan indiividu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan.
Dalam pengertian tersebut, terkandung pemahaman bahwa:
1) Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan (indiividu, kelompok, organisasi, dan kelembagaan yang lain) untuk menunjukkan/memerankan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
2) Kapasitas bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan proses yang berkelanjutan.
3) Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia merupakan pusat pengembangan kapasitas.
4) Yang dimaksud dengan kelembagaan, tidak terbatas dalam arti sempit (kelompok, perkumpulan atau organisasi), tetapi juga dalam arti luas, menyangkut perilaku, nilai-nilai, dll.
Penguatan kapasitas untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat tersebut, mencakup penguatan kapasitas setiap individu (warga masyarakat), kapasitas kelembagaan (organi-sasi dan nilai-nilai perilaku), dan kapasitas jejaring (net-working) dengan lembaga lain dan interaksi dengan sistem yang lebih luas.
Sejalan dengan pemahaman tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, strategi pembangunan yang memberikan per-hatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masya-rakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi ini perlu lebih dikembang-kan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemam-puan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikut-sertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebutuhan masyarakatnya.
G. Obyek Pemberdayaan Masyarakat
Obyek atau target sasaran pemberdayaan dapat diarah-kan pada manusia (human) dan wilayah/kawasan tertentu.
Pemberdayaan yang diarahkan pada manusia dimaksudkan untuk menaikkan martabatnya sebagai mahluk sosial yang berbudaya dan meningkatkan derajat kesehatannya agar mereka dapat hidup secara lebih produktif. Upaya ini dilaku-kan melalui serangkaian program penguatan kapasitas.
Dalam kerangka perencanaan, penentuan kelom-pok sasar-an pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pendekatan umum (universal) dan pendekatan khusus (ideal).
Dalam pendekatan universal, pemberdayaan diberikan kepada semua masyarakat. Keuntungan dari penedekatan ini mudah untuk diterapkan, namun kejelekan pende-katan ini adalah adanya disparitas atau kesenjangan pemahaman yang cukup tinggi. Sedangkan pendekatan ideal, menekankan bahwa pola pemberdayaan yang sesuai dengan klasifikasi strata masyarakat. Syarat yang harus dipenuhi adalah kelengkapan indikator dan kejelasan mengenai kriteria materi pemberdayaan.
H. Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat mencakup :
1) Jumlah warga yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam tiap kegiatan yang dilaksanakan.
2) Frekuensi kehadiran tiap-tiap warga pada pelaksanaan tiap jenis kegiatan.
3) Tingkat kemudahan penyelenggaraan program untuk memperoleh pertimbangan atau persetujuan warga atas ide baru yang dikemukakan.
4) Jumlah dan jenis ide yang dikemukakan oleh masyarakat yang ditujukan untuk kelanaran pelaksanaan program pengendalian.
5) Jumlah dana yang dapat digali dari masyarakat untuk menunjang pelaksanaan program kegiatan.
6) Intensitas kegiatan petugas dalam pengendalian masalah.
7) Meningkat kapasitas skala partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan.
8) Berkurangnya masyarakat yang menderita sakit malaria.
9) Meningkatnya kepedulian dan respon terhadap perlunya peningkatan kehidupan kesehatan.
10) Meningkatnya kemandirian kesehatan masyarakat.
I. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pemberdayaan pada dasarnya mempunyai tiga arah. Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarkat. Kedua, pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial ekonomi (termasuk didalamnya kesehatan), budaya dan politik yang bersumber pada pertisipasi masyarakat.
Dengan demikian pengendalian faktor resiko penyakit malaria dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut :
1) Menyusun instrumen faktor resiko dari penyakit malaria dari aspek lingkungan, perilaku pelayanan kesehatan dan kependudukan yang saling terkait dengan peran individu, keluarga dan masyarakat sekitarnya dan telah diujicoba. Dalam kegiatan ini bahan informasi adalah hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, referensi yang ada, hasil temuan programer dari audit penyakit tersebut.
2) Membangun pemahaman, komitmen dan kerjasama tim tingkat kabupaten dan kecamatan dalam penerapan pendekatan keluarga untuk mendorong kemandirian individu, keluarga dan masyarakat melakukan pengendalian faktor resiko berbasis keluarga dari penyakit malaria.
3) Menerapkan pendekatan keluarga untuk pengendalian faktor resiko berbasis keluarga dari penyakit malaria, diselenggarakan Puskesmas bersama lintas sektor kecamatan, LSM, tokoh masyarakat dalam rangka kemandirian individu, keluarga dan masyarakat dalam mengendalikan faktor resiko tersebut.
4) Mempersiapkan sistem informasi dan survailance penyakit yang akan diatasi, manfaatkan pencatatan dan pelaporan yang ada, melengkapi hasil pemantauan pengendalian faktor resiko yang ditanggulangi. Mengembangkan sistem analisis, intervensi, monitoring dan evaluasi pemberda-yaan individu, keluarga dan masyarakat.
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini