PENGERTIAN DASAR
Seperti banyak dikemukakan, istilah penyuluhan ber-awal dari kata “extension” yang untuk pertama kalinya diterapkan dalam kegiatan penyuluhan oleh perguruan tinggi oleh Universitas Oxford di Inggris pada tahun 1840-an (Ban dan Hopkins, 1985).
Tetapi, dalam perjalanan sejarah, penyuluhan dapat diartikan dengan berbagai pemahaman, seperti:
• Penyebar-luasan (informasi)
• Penerangan/penjelasan
• Pendidikan non-formal (luar-sekolah)
• Perubahan perilaku
• Rekayasa sosial
• Pemasaran inovasi (teknis dan sosial)
• Perubahan sosial (perilaku individu, nilai-nilai, hubungan antar individu, kelembagaan, dll)
• Pemberdayaan masyarakat (community empowerment)
• Penguatan komunitas (community strengthening)
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES
PENYEBAR-LUASAN INFORMASI
Dari arti kartanya, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses penyebarluasan yang dalam hal ini, merupakan peyebar-luasan informasi tentang IPTEK yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam praktek atau kegiatan praktis.
Di dalam pejalananannya, kata “extension” diartikan juga sebagai: pemberian nasehat (advisory work), vulgarisasi atau penjelasan/pemberitahuan apa adanya (Roling, 1983) mobili-sasi, peniruan, dan penyadaran (Freire, 1973). Implikasi dari pengertian ini adalah:
1) Sebagai agen penyebaran informasi, penyuluh tidak boleh hanya menunggu aliran informasi dari sumber-sumber informasi (peneliti, pusat informasi, institusi pemerintah, dll) melainkan harus secara aktif berburu informasi yang bermanfaat dan atau dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi kliennya.
Dalam hubungan ini, penyuluh harus mengoptimalkan pemanfaatan segala sumberdaya yang dimiliki serta segala media/saluran informasi yang dapat digunakan (media-masa, internet, dll) agar tidak ketinggalan dan tetap dipercaya sebagai sumber informasi “baru” oleh kliennya.
2) Penyuluh harus aktif untuk menyaring informasi yang diberikan atau yang diperoleh kliennya dari sumber-sumber yang lain, baik yang menyangkut kebijakan, produk, metoda, nilai-nilai perilaku, dll. Hal ini penting, karena di samping dari penyuluh, masya-rakat seringkali juga memperoleh informasi/inovasi dari sumber-sumber lain (aparat pemerintah, produsen/ pelaku bisnis, media masa, LSM) yang tidak selalu “benar” dan bermanfaat/ menguntungkan masyarakat/kliennya.
Sebab, pengalaman menunjukkan, informasi yang datang dari “luar” seeringkali lebih berorientasi kepada “kepen-tingan luar” dibanding keberpihakannya kepada kepen-tingan masya-rakat yang menjadi kliennya.
3) Penyuluh perlu lebih memperhatikan informasi dari “dalam” baik yang berupa “kearifan tradisional” maupun “indegenuous technology”.
Hal ini penting, karena informasi yang berasal dari dalam, di samping telah teruji oleh waktu, seringkali juga lebih sesuai dengan kondisi setempat, baik ditinjau dari kondisi teknis, ekonomis, sosial/budaya, maupun kesesuainnya dengan kebutuhan pengembangan komunitas setempat.
4) Pentingnya informasi yang menyangkut hak-hak politik masyarakat, di samping: inovasi teknologi, kebijakan, manajemen, dll.
Hal ini penting, karena yang untuk pelaksanaan kegiatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seringkali sangat tergantung kepada kemauan dan keputusan politik. Sebagai contoh, program intensifikasi padi terbukti tidak banyak memberikan perbaikan kesejahteraan petani. Demikian juga yang terjadi kaitannya dengan kebijakan impor beras, gula, daging, dll.
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES PENERANGAN/
PEMBERIAN PENJELASAN
Masih dalam hubungan dengan arti katanya, dalam bahasa Indonesia, penyuluhan digunakan sebagai terjemahan dari kata “voorlichting” yang berarti penerangan atau memberikan terang bagi yang dalam kegelapan. Sehingga, penyuluhan juga sering diartikan sebagai kegiatan penerangan.
Sebagai proses penerangan, kegiatan penyuluhan tidak saja terbatas pada memberikan penerangan, tetapi juga menjelas-kan mengenai segala informasi yang ingin disampaikan kepada kelompok-sasaran yang akan menerima manfaat penyuluhan (beneficiaries), sehingga mereka benar-benar memahaminya seperti yang dimaksudkan oleh penyuluh atau juru-penerangnya.
Terkait dengan istilah penerangan, penerangan yang dilakukan oleh penyuluh tidak boleh hanya bersifat “searah” melainkan harus diupayakan berlangsungnya komunikasi “timbal-balik” yang memusat (convergence) sehingga penyu-luh juga dapat memahami aspirasi masyarakat, manakala mereka menolak atau belum siap menerima informasi yang diberikan.
Hal ini penting, agar penerangan yang dilakukan tidak bersifat “pemaksaan kehendak” (indoktrinasi, agitasi, dll) melainkan tetap menjamin hubungan yang harmonis antara penyuluh dabn mnasyarakat/kliennya secara berkelanjutan.
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES
PERUBAHAN PERILAKU
Dalam perkembangannya, pengertian tentang penyu-luhan tidak sekadar diartikan sebagai kegiatan penerangan, yang bersifat searah (one way) dan pasif. Tetapi, penyuluhan adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara penyuluh dan yang disuluh agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya).
Dengan kata lain, kegiatan penyuluhan tidak berhenti pada “memberikan penerangan”, tetapi merupakan proses yang dilakukan secara terus-menerus, sekuat-tenaga dan pikiran, memakan waktu dan melelahkan, sampai terjadinya perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh penerima manfaat penyuluhan (beneficiaries) yang menjadi “sasaran penyuluhan”.
Sebagai contoh:
Pada penyuluhan penggunaan pupuk terhadap tanaman tertentu,, kegiatan penyuluhan tidak boleh hanya berhenti pada pemberian penerangan atau penjelasan kepada petani, tetapi harus dilakukan terus-menerus sampai petani tersebut mau menggunakan, bahkan secara mandiri mau berswadaya untuk membeli pupuk tersebut.
Implikasi dari penegertian perubahan perilaku ini adalah:
1. Harus diingat bahwa, perubahan perilaku yang diharapkan tidak hanya terbatas pada masya-rakat/klien yang menjadi “sasaran utama” penyuluhan, tetapi penyuluhan harus mampu mengubah perilaku semua stakeholders pemba-ngunan, terutama aparat pemerintah selaku pengambil keputusan, pakar, peneliti, pelaku bisnis, aktiivis LSM, tokoh masyarakat dan stakeholders pembangunan yang lainnya.
2. Perubahan perilaku yang terjadi, tidak terbatas atau berhenti setelah masyarakat/klien mangadopsi (menerima, menerapkan, mengikuti) informasi/inovasi yang disampai-kan, tetapi juga termasuk untuk selalu siap melakukan perubahan-perubahan terhadap inovasi yang sudah diya-kininya, manakala ada informasi/inovasi/kebijakan baru yang lebih bermanfaat bagi perbaikan kesejahteraannya.
Dari contoh penyuluhan pemupukan di atas, kegiatan penyuluhan tidak berhenti sampai pada tumbuhnya swadaya masyarakat untuk menggunakan dan membeli pupuk, tetapi juga kesiapannya untuk menerima “pupuk baru” sebagai pengganti pupuk yang disuluhkan itu.
3. Perubahan perilaku yang dimaksudkan tidak terbatas pada kesediaanya untuk menerapkan/menggunakan inovasi yang ditawarkan, tetapi yang lebih penting dari kese-muanya itu adalah kesediaannya untuk terus belajar sepanjang kehidupannya secara berkelanjutan (life long education).
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES BELAJAR/
PROSES BELAJAR
Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa, kegiatan penyebar-luasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses belajar.
Hal ini penting untuk dipahami, karena perubahan perilaku dapat dilakukan melalui beragam cara, seperti: pembujukan, pemberian insentif/hadiah, atau bahkan melalui kegiatan-kegiatan pemaksaan (baik melalui penciptaan kondisi ling-kungan fisik maupun social-ekonomi, maupun pemaksaan melalui aturan dan ancaman-ancaman).
Berbeda dengan perubahan perilaku yang dilakukan bukan melalui pendidikan, perubahan perilaku melalui proses belajar biasanya berlangsung lebih lambat, tetapi perubah-annya relatif lebih kekal. Perubahan seperti itu, baru akan meluntur kembali, manakala ada pengganti atau sesuatu yang dapat menggantikannya, yang memiliki keunggulan-keung-gulan “baru” yang diyakininya memiliki manfaat lebih, baik secara ekonomi maupun non-ekonomi.
Lain halnya dengan perubahan perilaku yang terjadi karena bujukan/hadiah atau pemaksaan, perubahan tersebut biasanya dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tetapi lebih cepat pula meluntur, yaitu jika bujukan/hadiah/pemaksaan tersebut dihenti-kan, berhenti atau tidak mampu lagi melanggengkan kegiatannya.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, dalam konsep “akademik” dapat mudah dimaklumi, tetapi dalam prektek kegiatan, perlu dijelaskan lebih lanjut. Sebab pendidikan yang dimaksud di sini tidak berlangsung vertikal yang lebih bersifat “menggurui” tetapi merupakan pendidikan orang-dewasa yang berlangsung horizontal dan lateral (Mead, 1959) yang lebih bersifat “partisipatip”.
Dalam kaitan ini, keberhasilan penyuluhan tidak diukur dari seberapa banyak ajaran yang disampaikan, tetapi seberapa jauh terjadi proses belajar bersama yang dialogis, yang mampu menumbuhkan kesadaran (sikap), pengetahuan, dan ketrampilan “baru” yang mampu mengubah perilaku kelompok-sasarannya ke arah kegiatan dan kehidupan yang lebih menyejahterakan setiap individu, keluarga, dan masyarakatnya. Jadi, pendidikan dalam penyuluhan adalah proses belajar bersama.
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES
PERUBAHAN SOSIAL
SDC (1995) menyatakan bahwa, penyuluhan tidak sekadar merupakan proses perubahan perilaku pada diri seseorang, tetapi merupakan proses perubahan sosial, yang mencakup banyak aspek, termasuk politik dan ekonomi yang dalam jangka panjang secara bertahap mampu diandalkan menciptakan pilihan-pilihan baru untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya.
Yang dimaksud dengan perubahan sosial di sini adalah, tidak saja perubahan (perilaku) yang berlangsung pada diri seseorang, tetapi juga perubahan-perubahan hubungan antar individu dalam masyarakat, termasuk struktur, nilai-nilai, dan pranata sosialnya, seperti: demokratisasi, transparansi, supremasi hukum, dll.
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES
REKAYASA SOSIAL (SOCIAL ENGINEERING)
Sejalan dengan pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses perubahan sosial yang dikemukakan di atas, penyuluhan juga sering disebut sebagai proses rekayasa sosial (social engineering) atau proses perubahan sosial yang dilakukan oleh pihak-luar (perekayasa) demi terciptanya kondisi sosial yang diinginkan.
Pemahaman seperti itu tidak salah, tetapi tidak dapat sepenuhnya dapat diterima. Sebab, rekayasa-sosial yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan kelompok-sasarannya, seringkali dapat beraki-bat negatip, manakala hanya mengacu kepada kepentingan perekayasa, sementara masyarakat dijadikan korban peme-nuhan kehendak perekayasa.
Sebagai contoh:
Upaya menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan memang diperlukan, tetapi jika dalam proses untuk berpartisipasi tersebut masyarakat dituntut kesediaannya untuk banyak berkorban termasuk mengorbankan hak-hak normatifnya sebagai warga negara (harus tunduk, tidak boleh membantah, dll) maka proses reklayasa sosial seperti itu bukanlah perubahan-sosial sebagaimana yang dimaksud dan dikehendaki oleh kegiatan penyuluhan.
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES
PEMASARAN SOSIAL (SOCIAL MARKETING)
Yang dimaksud dengan “pemasaran sosial” adalah penerapan konsep dan atau teori-teori pemasaran dalam proses perubahan sosial. Berbeda dengan rekayasa sosial yang lebih berkonotasi untuk “membentuk” (to do to) atau menjadikan masyarakat menjadi sesuatu yang “baru” sesuai yang dikehendaki oleh perekayasa, proses pemasaran sosial dimaksudkan untuk “menawarkan” (to do for) sesuatu kepada masyarakat. Jika dalam rekayasa-sosial proses pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan perekayasa, peng-ambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan masyarakat itu sendiri.
Termasuk dalam pengertian “menawarkan” di sini adalah penggunaan konsep-konsep pemasaran dalam upaya menum-buhkan, menggerakkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang ditawarkan dan akan dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan.
Perbedaan hakiki di sini adalah, masyarakat berhak menawar bahkan menolak segala sesuatu yang dinilai tidak bermanfaat, akan merugikan, atau membawa konsekuensi pada keharusan masyarakat untuk berkorban dan atau mengorbankan sesuatu yang lebih besar dibanding manfaat yang akan diterimanya.
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (COMMUNITY EMPOWERMENT)
Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan penyuluhan adalah untuk memberdayakan masyarakat.
Memberdayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan.
Dalam konsep pemberdayaan tersebut, terkandung pema-haman bahwa pemberdayaan tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan mandiri dalam pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejahteraannya sendiri.
Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk mem-perkuat kemampuan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam keselu-ruahn proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain (penyuluh, LSM, dll)
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES PENGUATAN KAPASITAS (CAPACITY STRENGHTENING)
Yang dimaksud dengan penguatan kapasitas di sini, adalah penguatan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan, maupun hubung an atau jejaring antar individu, kelompok/organisasi sosial, serta pihak lain di luar sistem masyarakatnya sampai di aras global. Kemampuan atau kapasitas masyarakat, diartikan sebagai daya atau kekuatan yang dimiliki oleh setiap indiividu dan masyarakatnya untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara lebih berhasil-guna (efektip) dan berdaya-guna (efisien) secara berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, kekuatan atau daya yang dimiliki setiap individu dan masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat aktif yaitu terus menerus dikembangkan/dikuatkan untuk “mempro-duksi” atau menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Penguatan masyarakat disini, memiliki makna-ganda yang bersifat timbal-balik. Di satu pihak, penguatan diarahkan untuk melebih mampukan indiividu agar lebih mampu ber-peran di dalam kelompok dan masyarakat global, di tengah-tengah ancaman yang dihadapi baik dalam kehidupan pribadi, kelompok dan masyarakat global. Sebaliknya, penguatan masyarakat diarahkan untuk melihat peluang yang berkem-bang di lingkungan kelompok dan masyarakat global agar dapat dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelom-pok, dan masyarakat global ( UNDP, 1998)
PENYULUHAN SEBAGAI PROSES
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Sebagai proses komunikasi pembangunan, penyuluh-an tidak sekadar upaya untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah, untuk menumbuh-kembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Mardikanto, 1987).
Di dalam pengertian “menumbuh-kembangkan”, terkandung upaya-upaya untuk:
1) Menyadarkan masyarakat agar mau berpartisipasi secara sukarela, bukan karena paksaan atau ancaman-ancaman
2) Meningkatkan kemampuan masyarakat agar mampu (fisik, mental, intelegensia, ekonomis dan non-ekonomis)
3) Menunjukkan adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
Sedang yang dimaskud dengan “partisipasi” tidak hanya terbatas pada kesediaan untuk berkorban, tetapi berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan, sejak: pengambilan keputusan tentang pentingnya pembangunan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini