PEMBERDAYAAN
PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA MANUSIA
ADALAH KUNCI PENTING UNTUK
MERAIH MUTU ORGANISASI
Ujung tombak perguruan tinggi adalah para pengajar,
teknisi, laboran, pustakawan, pegawai dan karyawan;
merekalah yang dapat meningkatkan atau
menghancurkan mutu perguruan tinggi.
oleh
Margono Slamet
Pendahuluan
Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja perguruan tinggi adalah melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam perguruan tinggi itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan perguruan tinggi untuk mengubah dan mencip-takan suasana kerja yang kondusif untuk itu sangat besar dan penting. Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk itu. Meskipun sekarang ini sering dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk memajukan dan meningkatkan mutu perguruan tinggi sumber enerji yang terpenting adalah sumberdaya manusia yang ada didalamnya. Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi orang-orang yang bekerja itu yang akan menentukan sampai seberapa jauh perguruan tinggi akan mampu meningkatkan mutu kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan mutu.
Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Dalam organisasi yang telah diberdayakan akan tercipta hubungan di antara orang-orangnya yang saling berbagi kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi, harapan-harapan, dan pengakuan serta penghargaan. Hubungan kerja semacam itu sangat berbeda dengan hubungan kerja yang secara tradisional didasari oleh hubungan hirarkhi dalam organisasi. Aset yang paling berharga dari suatu perguruan tinggi adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, kreatifitas, motivasi dan kemam-puan bekerjasama yang mereka miliki.
Mengapa perlu pemberdayaan
Bagi para pelaksana di perguruan tinggi – dosen, teknisi, pegawai administrasi, dsb. – pemberdayaan merupakan kebutuhan yang harus mereka peroleh. Sebaliknya bagi para pimpinan – mulai dari yang tertinggi sampai ke yang terrendah – pemberdayaan adalah suatu fungsi yang harus mereka lakukan atau berikan kepada para pelaksana. Bagi suatu organisasi yang mendam-bakan kualitas kinerja yang terus meningkat pemberdayaan adalah suatu proses yang harus terjadi. Tanpa proses pemberdayaan suatu perguruan tinggi akan sulit untuk bisa memenangkan persaingan yang semakin keras secara nasional ataupun secara internasional. Tanpa pemberda-yaan suatu perguruan tinggi juga akan sulit untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan adanya pendidikan yang semakin tinggi standar mutunya. Keterbatasan berbagai sumberdaya juga meng-haruskan setiap perguruan tinggi melaksanakan pemberdayaan organisasinya.
Di lain fihak para pelaksana di perguruan tinggi kecewa dan merasa kurang enak karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu kinerja yang lebih tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada saat yang sama mereka menuntut adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang lebih besar. Dalam kondisi yang ada mereka tidak pernah bisa merasa pasti tentang komitmen dan tanggung-jawabnya.
Dalam situasi semacam itu perguruan tinggi harus melakukan penyesuaian, mengem-bangkan dan belajar cara-cara baru agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan mutu yang lebih baik. Para pimpinan perguruan tinggi harus terus berusaha agar organisasinya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mutu dari luar maupun dari dalam.
Apakah pemberdayaan itu?
Pada dasarnya pemberdayaan adalah cara untuk melaksanakan kerjasama dalam organisasi sehingga semua orang berpartisipasi penuh.. Dalam organisasi yang sudah diberdaya-kan para pelaksana (dosen, teknisi, pegawai administrasi, pustakawan, laboran, dsb) merasa bertanggung-jawab tidak hanya tentang pekerjaan yang dikerjakannya, tetapi juga tentang keseluruhan perguruan tingginya agar dapat berfungsi secara lebih baik. Tim-tim yang telah diberdayakan akan bekerjasama memperbaiki kinerja mereka secara berkelanjutan, mencapai tingkat produktivitas dan mutu yang tinggi. Setelah pemberdayaan perguruan tinggi akan terstruktur sedemikian rupa hingga orang-orang merasa bahwa mereka dapat mencapai hasil-hasil sebagaimana mereka harapkan, mereka dapat melakukan apa yang perlu mereka lakukan, dan tidak sekedar dapat melakukan apa yang mereka diperintah untuk melakukannya, dan mereka menerima penghargaan atas apa yang mereka lakukan itu.
Dinamika suatu organisasi – perguruan tinggi – terletak pada kreativitas dan inisiatif orang-orang yang ada di dalamnya. Bila perguruan tinggi itu dan orang-orang yang ada meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan adalah mencari bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif yang ada pada orang-orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya adalah dengan meningkatkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampian kerjanya, memberi kewenangan atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan memberi motivasi agar mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa untuk memanfaatkan potensi orang-orang itu dengan jalan mendo-rongnya untuk berpartisipasi meraih kinerja perguruan tinggi yang lebih bermutu. Agar mereka berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya, dikembangkan kemauannya, dan diberi kesem-patan untuk berpartisipasi.
Perguruan tinggi perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-orang yang bekerja di dalamnya apakah mereka dosen atau pegawai non-edukatif seperti teknisi, laboran, pustakawan, pegawai administrasi, resepsionis, operator telepon, pengantar surat, petugas kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan kemampuan adalah tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan – direncanakan dan dilaksanakan secara teratur dan profesional – bagi semua jenis dan tingkatan pekerja perguruan tinggi. Tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu adalah memberi wawasan yang lebih luas dan dalam tentang hakekat tugas yang diembannya, meningkatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar yang relevan dengan jenis tugasnya, memperluas dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya, serta menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal yang dipelajarinya. Dengan wawasan, keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah itu diharapkan orang-orang itu akan berkembang kreativitasnya dan berani berinisiatif untuk mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru itulah yang bisa diharapkan dapat membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya pendidikan dan pelatihan tambahan sulit diharapkan berkembangnya kreativitas dan inisiatif untuk melahirkan dan mencoba cara-cara baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan adanya mutu kinerja yang lebih baik. Dalam menerapkan MMT, pelembagaan program-program pendidikan dan pelatihan itu merupakan kebijakan yang mutlak.
Menguasai kemampuan yang berupa pengetahuan dan keterampilan saja tidaklah cukup. Orang perlu memiliki kemauan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya agar dapat menghasilkan kinerja yang lebih bermutu. Kemauan itu ibarat motor penggerak yang mendorong dirinya sendiri untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Kemauan ini sama atau berkaitan erat dengan motivasi. Untuk menghasilkan mutu kinerja yang lebih baik diperlukan motivasi. Sumber motivasi seseorang adalah kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh orang itu. Jelas sekali bahwa setiap individu pada suatu saat memiliki kebutuhan yang ingin terpenuhi. Untuk meme-nuhi kebutuhannya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu asalkan perbuatannya itu mengarah pada pemuasan kebutuhannya tadi. Sekarang bagaimana mengkaitkan perbuatan mem-perbaiki mutu perguruan tinggi itu dengan pemuasan salah satu atau beberapa kebutuhan orang-orang yang bekerja di perguruan tinggi. Menurut Abraham Maslow kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi lima kategori yang tersusun secara hirarkhi, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk pegawai-pegawai golongan bawah mungkin kebutuhan-kebutuhan yang dirasa mendesak masih berkisar pada kebutuhan fisiologis (pangan, sandang, papan, dll) dan keamanan (tabungan,dll) yang dalam kehidupan modern bisa dibeli dengan uang. Oleh karena itu untuk mereka tugas-tugas yang bisa memperoleh imbalan uang akan dikerjakan dengan lebih baik, ter-masuk tugas-tugas meningkatkan mutu kinerja. Bagi para pegawai golongan menengah ke atas biasanya kebutuhan yang dirasa mendesak bukan lagi kebutuhan fisiologis dan keamanan, tetapi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Pemenuhan atau pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini biasanya tidak semata-mata dengan menggunakan uang, tetapi dengan menggunakan kemam-puan atau prestasi diri. Oleh karena itu hal-hal yang bisa memotivasi orang-orang golongan ini adalah yang bisa langsung atau tak langsung meningkatkan harga dirinya. Diskusi ini mengarah pada perlunya memberi pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang agar mau melaku-kan usaha-usaha peningkatan mutu kinerjanya. Dengan diakui dan dihargainya kontribusi orang-orang tersebut dalam meningkatkan mutu perguruan tinggi di mana mereka bekerja, mereka merasa harga dirinya naik, dan dengan harga diri yang naik itu mereka merasa upayanya untuk memenuhi kebutuhan sosialnya akan menjadi mudah. Jadi untuk menumbuhkan kemauan orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya bisa dengan menerapkan sistem penghargaan yang bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok orang. Perlu sekali lagi ditekankan di sini bahwa penghargaan tidak selalu harus dalam bentuk uang atau materi. Pengakuan dan pujian di hadapan umum bisa memotivasi orang untuk berbuat baik lebih lanjut.
Agar orang mau berpartisipasi meningkatkan mutu (atas kemauan sendiri) orang itu perlu mendapatkan kesempatan untuk berbuat demikian. Kesempatan ini bisa berupa ajakan dari pimpinan dan atau orang-orang lain di sekitarnya, atau kebebasan untuk berpartisipasi, tersedia-nya fasilitas untuk meningkatkan mutu, atau dalam bentuk kewenangan untuk berpartisipasi. Memberi kewenangan kepada semua orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya masing-masing adalah penting untuk munculnya partisipasi dalam meningkatkan mutu perguruan tinggi.
Pemberdayaan perguruan tinggi berawal dari adanya sifat hubungan baru di antara orang-orang yang bekerja, dan antara orang-orang itu dengan pimpinan perguruan tingginya. Mereka semua adalah mitra kerja. Setiap orang diajak untuk tidak hanya merasa bertanggung-jawab tentang pekerjaannya sendiri, tetapi mereka juga merasa ikut memiliki organisasi secara keseluruhan. Para pekerja itu perlu dibuat merasa sebagai pengambil keputusan, tidak sekedar sebagai pengikut, pelaksana, penerima perintah atau bawahan. Selain itu mereka juga merasa bangga atau kecewa terhadap keberhasilan perguruan tingginya secara keseluruhan, dan bukan hanya merasa bangga atau kecewa terhadap hasil kerja dirinya sendiri saja.
Pemberdayaan akan mengubah dinamika organisasi
Sejak kelahirannya sampai sekarang perguruan tinggi di Indonesia cenderung menerap-kan organisasi yang berbentuk tradisional, yang terkendali secara ketat dari atas dan jarang melibatkan pemikiran dari bawah. Organisasi tradisional itu biasanya berbentuk piramida dengan pimpinan tertingginya berada di puncak. Organisasi semacam ini ditandai dengan adanya pembagian fungsi yang sangat tajam dengan batas-batas yang jelas, uraian tugas yang terbatas dan pengendalian ketat oleh atasan. Dalam organisasi ini orang-orang yang berada di puncak berfikir dan merencanakan, sedangkan orang-orang yang berada di bawah melaksanakannya.
Ciri-ciri organisasi piramidal :
• Keputusan diambil oleh pimpinan puncak.
• Setiap orang hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
• Perubahan terjadi secara lambat dan jarang, dan hanya datang dari puncak.
• Umpan balik dan komunikasi dari atas ke bawah.
• Interaksi dan komunikasi antar bagian sangat minimal.
• Fokus perhatian orang pada atasan yang bertanggung jawab atas pekerjaan bawahannya.
• Pimpinanlah yang mengatakan bagaimana sesuatu harus dikerjakan dan apa yang harus dihasilkan.
• Bawahan tidak diharapkan bermotivasi tinggi, karena itu perlu diawasi dan dikendalikan secara ketat.
Sampai sekarang sebagian besar perguruan tinggi masih beroperasi kurang lebih semacam itu. Bentuk baru organisasi disebut sirkel atau jaringan, karena beroperasinya merupakan serangkai-an kelompok atau tim yang saling berkoordinasi, yang
dihubungkan dari tengah bukan dari atas
Ciri-ciri Organisasi Sirkel :
• Berfokus pada pelanggan.
• Orang bekerjasama satu dengan lainnya mengerjakan segala apa yang diperlukan.
• Orang-orang berbagi tanggung-jawab, keterampilan, wewenang dan pengawasan.
• Pengawasan dan koordinasi dilakukan melalui komunikasi yang dilakukan secara terus-menerus dan melalui banyak keputusan.
• Perubahan kadang-kadang terjadi secara cepat, karena tantangan-tantangan baru muncul.
• Kunci keberhasilan bagi semua karyawan dan pimpinan adalah kemampuan bekerjasama dengan orang-orang lain.
• Dalam organisasi ini terdapat relatif hanya sedikit tingkatan (eselon).
• Kekuatan (kekuasaan) seseorang bersumber dari kemampuannya mempengaruhi dan mem-beri inspirasi kepada yang lain, dan bukan dari jabatannya.
• Individu-individu diharapkan mengendalikan dirinya sendiri dan bertanggung-jawab kepada semuanya; perhatian lebih ditujukan kepada para pelanggan.
• Para pimpinan adalah sumber enerji, penghubung dan pemberdaya bagi orang-orang yang ada dalam berbagai tim yang ada dalam organisasi
Kebanyakan organisasi berada dalam bentuk antara piramida dan sirkel. Jadi bentuk organisasi akan berubah secara bertahap. Dengan memikirkan dan membayangkan dimana orga-nisasi perguruan tinggi kita berada pada saat ini, dan pada posisi mana kita harapkan setelah be-berapa tahun yang akan datang, kita akan dapat menggerakan perubahan dalam organisasi seperti yang kita harapkan, yaitu agar organisasi perguruan tinggi menjadi lebih berdaya.
Untuk bergeser dari piramida ke sirkel memang bukan proses pengembangan yang mudah. Kenyataannya berada dalam organisasi yang sedang bergerak dari satu bentuk ke bentuk yang lain terasa sangat tidak tenang, penuh dengan perasaan ketidak pastian. Perubahan terjadi dimana-mana dan kadang-kadang sukar mengerti alasan mengapa hal itu harus terjadi. Tetapi perlu diingat bahwa setiap pembaruan selalu memerlukan perubahan, dan perubahan selalu menimbulkan goncangan, besar ataupun kecil. Tidak perlu khawatir akan adanya guncangan-guncangan itu, asal kita selalu sadar kemana organisasi itu bergerak.
Berikut ini empat macam goncangan yang mungkin akan menghadang di tengah upaya pemberdayaan perguruan tinggi.
• Inertia = kelembaman : kesulitan dalam memutuskan untuk memulai melakukan perubahan. Sering terasa lebih mudah tetap pada posisi semula.
• Self-doubt = ragu-ragu sendiri : tidak yakin akan benar-benar bisa menciptakan tempat kerja yang lebih berdaya.
• Anger = marah : menyalahkan fihak lain karena menganjurkan semua ini.
• Chaos = kacau-balau : Terlihat begitu banyak jalan di depan sehingga merasa kehilangan arah.
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini