Sejalan dengan semakin berkembangnya penerapan ilmu penyuluhan pembangunan di Indonesia, studi-studi tentang adopsi inovasi kian menarik untuk terus dikaji, terutama kaitannya dengan kegiatan pembangunan pertanian yang dilaksanakan. Bahkan, selama selang waktu 10 tahun, setidaknya ada dua karya disertasi yang mengkaji proses adopsi inovasi, yaitu yang dilakukan oleh Herman Soewardi (1976) dan Dudung Abdul Adjid (1985).
Semakin pentingnya kajian tentang adopsi inovasi tersebut, antara lain disebabkan karena, sejak dimulainya "revolusi hijau" di Indonesia pada awal dasawarsa tujuh-puluhan, pembangunan pertanian lebih memusatkan perhatiannya kepada peningkatan mutu intensifikasi yang diupayakan mela-lui penerapan inovasi-inovasi, baik yang berupa inovasi-teknis (mulai panca-usaha, sapta-usaha, sampai sepuluh jurus tekno-logi) maupun inovasi-sosial (usahatani berkelompok, melalui Insus dan Supra Insus).
Tergantung kepada proses perubahan perilaku yang diupayakan, proses pencapaian tahapan adopsi dapat berlang-sung secara cepat ataupun lambat.
Jika proses tersebut melalui "pemaksaan" (coersion), biasanya dapat berlangsung secara cepat, tetapi jika melalui "bujukan" (persuasive) atau "pendidikan" (learning), proses adopsi tersebut dapat berlangsung lebih lambat (Soewardi, 1987). Tetapi, ditinjau dari pemantaban perubahan perilaku yang terjadi, adopsi yang berlangsung melalui proses bujukan dan atau pendidikan biasanya lebih sulit berubah lagi. Sedang adopsi yang terjadi melalui pemaksaan, biasanya lebih cepat berubah kembali, segera setelah unsur atau kegiatan pemak-saan tersebut tidak dilanjutakan lagi.
Dari khasanah kepustakaan diperoleh informasi bahwa kecepatan adopsi, ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:
1) Sifat-sifat atau karakteristik inovasi
2) Sifat-sifat atau karakteristik calon pengguna
3) Pengambilan keputusan adopsi
4) Saluran atau media yang digunakan
5) Kualifikasi penyuluh.
Meskipun demikian, Mardikanto (1995) mensinyalir bahwa, identifikasi beragam faktor penentu kecepatan adopsi inovasi itu masih terbatas pada pendekatan proses komunikasi.
Karena itu, dia mencoba menggali lebih jauh dengan melaku-kan pendekatan kebudayaan (Soewardi, 1976), dan pendekat-an sistem agribisnis.
Lebih lanjut, karena kegiatan penyuluhan pertanian dapat dili-hat sebagai sub-sistem pengembangan masyarakat, maka kece patan adopsi inovasi dapat pula dipengaruhi oleh perilaku aparat dan hal-hal lain yang terkait dalam kegiatan pengem-bangan masyarakat.
Studi tentang adopsi inovasi, telah banyak dilakukan oleh berbagai pi-hak. Herman Soewardi (1976), misalnya, telah melakukan studi untuk melihat proses adopsi sebagai proses perkembangan kebudayaan, berdasarkan teori Erasmus:
A = f (M, C, L)
di mana: A = adoption,
M = motivation,
C = cognition, dan
L = limitation.
Di lain pihak, sejalan dengan perkembangan pene-rapan ilmu penyuluhan pembangunan di Indonesia, Margono Slamet (1978) dengan menggunakan pendekatan ilmu komunikasi seperti yang biasa dilakukan oleh Rogers (1969), mengenalkan variabel-variabel penentu kecepatan adopsi yang terdiri atas: sifat-sifat inovasinya, kegiatan promosi yang dila-kukan penyuluh, ciri-ciri sistem sosial masyarakat sasaran, dan jenis pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasar-an.
Selain itu, proses adopsi inovasi juga dapat didekati dengan pemahaman bahwa proses adopsi inovasi itu sendiri merupa-kan proses yang diupayakan secara sadar demi tercapainya tujuan pembangunan pertanian.
Pembangunan pertanian, menurut alm. Hadisapoetro (1970), pada hakeketanya dapat diartikan sebagai proses turut-campurnya tangan manusia di dalam perkembangan tanaman dan/atau hewan, agar lebih dapat memberikan man-faat bagi kesejahteraan manusia (petani) dan masyarakatnya.
Sebagai suatu proses, pembangunan pertanian merupakan proses interaksi dari ba-nyak pihak yang secara langsung maupun tak-langsung terkait dengan upaya peningkatan produktivitas usahatani dan peningkatan pendapatan serta perbaikan mutu-hidup, melalui penerapan teknologi yang terpilih (Totok Mardikanto, 1988).
Berlandaskan pada pemahaman seperti itu, dapat disimpulkan beberapa pokok-pokok pemikiran tentang adopsi inovasi kaitannya dengan pembangunan pertanian, sebagai berikut:
1) Adopsi inovasi memerlukan proses komunikasi yang terus-menerus untuk me-ngenalkan, menjelaskan, mendidik, dan membantu masyarakat agar tahu, mau, dan mampu menerapkan teknologi terpilih (yang disuluhkan).
2) Adopsi inovasi merupakan proses pengambilan keputusan yang berkelanjutan dan tidak kenal berhenti, untuk: mem-perhatikan, menerima, memahami, meng-hayati, dan mene rapkan teknologi-terpilih yang disuluhkan.
3) Adopsi inovasi memerlukan kesiapan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam praktek berusahatani, dengan memanfaatkan teknologi terpilih (yang disuluhkan).
Selaras dengan itu, maka kajian terhadap faktor-faktor penentu adopsi inovasi dapat dilakukan melalui tiga pende-katan sekaligus, yaitu: pendekatan komunikasi, psiko-sosial, dan sistem agribisnis.
A. Pendekatan Komunikasi
Berlo (1961) menegaskan bahwa, kejelasan komuni-kasi sangat ditentukan oleh keempat unsur-unsurnya, yang ter-diri dari: sumber, pesan, saluran, dan penerimanya.
Bertolak dari konsep ini, maka proses adopsi inovasi diten-tukan oleh kualitas pe-nyuluhan yang mencakup: kualitas penyuluh, sifat-sifat inovasinya, saluran komunikasi yang digunakan, dan ciri-ciri sasaran yang meliputi: status sosial-ekonomi, dan persepsinya terhadap aparat pelaksana kegiatan penyuluhan maupun program-program pembangunan pada umumnya (Rogers, 1969).
1) Sifat-sifat Inovasi
Dilihat dari sifat inovasinya, dapat dibedakan dalam sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik (yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (Mardikanto, 1988).
Sifat-sifat intrinsik inovasi itu mencakup:
a. informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasi-nya,
b. nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya, dan politis) yang melekat pada inovasinya,
c. tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi,
d. mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) ino-vasi,
e. mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trialability),
f. mudah/tidaknyaa inovasi tersebut diamati (observability).
Sedang sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi:
a. kesesuaian (compatibility) inovas dengan lingkungan setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis masyarakatnya).
b. tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang akan diperbaharui/ digaantikannya; baik keunggulan teknis (kecocokan dengan keadaan alam setempat, tingkat produktivitas-nya), ekonomis (besarnya beaya atau keuntungannya), manfaat non ekonomi, maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya.
Sehubungan dengan ragam sifat inovasi yang dikemu-kakan di atas, Roy (1981) dari hasil penelitiannya berhasil memberikan urutan jenjang kepentingan dari masing-masing sifat inovasi yang perlu diperhatikan di dalam kegiatan penyuluhan (Tabel 2).
Tabel 2. Urutan Jenjang Kepentingan
Sifat-sifat Inovasi
Urutan Jenjang Kepentingan
Sifat inovasi
1 Tingkat Keuntungan
(profitability)
2 Beaya yang diperlukan
(cost of innovation)
3 Tingkat kerumitan/kesederhanaan
(complexity-simplicity)
4 Kesesuaian dengan lingkungan fisik
(physical compatibility)
5 Kesesuaian dengan lingkungan budaya
(cultural compatibility)
6 Tingkat mudahnya dikomunikasikan
(communcicability)
7 Penghematan tenaga kerja dan waktu
(saving of labour and time)
Dapat/tidaknya dipecah-pecah/dibagi
(divisibility)
Sumber: Crouch and Chamala, 1981
2) Kualitas Penyuluh
Termasuk dalam pengertian kualitas penyuh, terdapat empat tolok-ukur yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
a. Kemampuan dan ketrampilan penyuluh untuk berkomu-nikasi
b. Pengetahuan penyuluh tentang inovasi yang (akan) disu-luhkan
c. Sikap penyuluh, baik terhadap inovasi, sasaran, dan pro-fesinya
d. Kesesuaian latar belakang sosial-budaya penyuluh dan sasaran
Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, kecepatan adopsi juga sangat ditentukan oleh aktivitaas yang dilakukan penyuluh, khususnya tentang upaya yang dilakukan penyuluh untuk "mempromosikan" inovasinya. Semakin rajin penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Demikian juga, jika penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan trampil menggunakan saluran komunikasi yang paling efektif, proses adopsi pasti akan berlangsung lebih cepat dibanding dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan kemampuan penyuluh untuk berko-munikasi, perlu juga diperhatikan kemampuannya ber-emphaty, atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau perasaan orang lain.
Kegagalan penyuluhan, seringkali disebabkan karena penyu-luh tidak mampu memahami apa yang sedang dirasakan dan dibutuhkan oleh sasarannya.
3) Sumber informasi yang dimanfaatkan
Gologan yang inovatif, biasanya banyak meman-faatkan beragam sumber informasi, seperti: lembaga pendi-dikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas yang terkait, media masa, tokoh-tokoh masyarakat (petani) setempat maupun dari luar, maupun lembaga-lembaga komersial (pedagang, dll).
Berbeda dengan golongan yang inovatif, golongan masyarakat yang kurang inovatif umumnya hanya memanfaatkan infor-masi dari tokoh-tokoh (petani) setempat, dan relatif sedikit memanfaat informasi dari media-masa.
3) Saluran komunikasi yang digunakan
Secara konseptual, pada dasarnya dikenal adanya tiga macam saluran atau media komunikasi, yaitu: saluran antar-pribadi (inter-personal), media masa (mass media), dan forum media yang dimaksudkan untuk menggabungkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh saluarn antar-pribadi dan media-masa.
Tentang hal ini, media masa biasanya lebih efektif dan lebih murah untuk mengenalkan inovasi pada tahap-tahap penya-daran dan menumbuhkan minat. Sebaliknya, media antar-pribadi biasanya lebih efektif untuk diterapkan pada tahapan yang lebih lanjut, sejak menumbuhkan minat sampai pada penerapannya. Berkenaan dengan itu, semakin banyak media yang digunakan oleh masyarakat, akan memberikan pengaruh yang semakin baik. Sebab, selain jumlah informassi menjadi lebih lengkap, biasanya juga lebih bermutu atau semakin memberikan kejelasan terhadap inovasi yang diterimanya.
Jika inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat disampaikan lewat media masa, atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang disampaikan melalui media masa, maka proses adopsi akan berlangsung relatif lebih cepat dibanding dengan inovasi yang harus disampaikan lewat media antar pribadi.
Sebaliknya, jika inovasi tersebut relatif sulit disampaikan lewat media masa atau sasarannya belum mampu (dapat) memanfaatkan media masa, inovasi yang disampaikan lewat media antar pribadi akan lebih cepat dapat diadopsi oleh masyarakat sasarannya.
4) Status Sosial-ekonomi Penerima atau Pengguna Inovasi
Rogers (1971) mengemukakan hipotesisnya bahwa setiap kelompok masyarakat terbagi menjadi 5 (lima) kelom-pok individu berdasarkan tingkat kecepatannya mengadopsi inovasi, yaitu:
• 2,5 % kelompok perintis (innovator),
• 13,5 % kelompok pelopor (early adopter),
• 34,0 % kelompok penganut dini (early mayority),
• 13,5 % kelompok penganut lambat (late majority),
• 2,5 % kelompok orang-orang kolot/naluri (laggard).
Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau dari kecepatannya mengadopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi yang meliputi:
a. Luas usahatani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
b. Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.
c. Keberanian mengambil resiko, sebab, pada tahap awal bia-sanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan.
Karena itu, individu yang memiliki keberanian mengha-dapi resiko biasanya lebih inovatif.
d. Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melak-sanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat.
e. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri.
Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat setempat.
f. Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru.
Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang selalu keptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru.
Selain itu, Dixon (1982) mengemukakan beberapa sifat individu yang sangat berperan dalam mempengaruhi kecepataan adopsi inovasi, yang berupa:
a. Prasangka inter personal
Adanya sifat kelompok masyarakat (terutama yang masih tertutup) untuk mencurigai setiap tindakan orang -orang yang berasal dan berada di luar sistem sosialnya, sering-kali berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi.
Karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat. Sebab, di dalam masyarakat sasaran seperti ini, mereka akan cepaat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mereka kenal, dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan.
b. Pandangan terhadap kondisi lingkungannya yang terbatas
Foster (1965) dan Shanin (1973) dari hasil pengamatannya menyimpulkan bahwa, kecepatan adopsi inovasi sangat tergantung pada persepsi sasaran terhadap keadaan ling-kungan sosial di sekitarnya. Jelasnya, jika mereka keadaan masyarakat (sosial ekonomi, teknologi yang diterapkan) relatif seragam, mereka akan kurang terdorong untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan guna melakukan perubahan-perubahan. Sebaliknya, jika ada seseorang atau beberapa anggota masyarakat sasaran yang memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimilikinya, mereka akan cenderung berupaya keras untuk melakukan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan atau perbaikan mutu hidup mereka sendiri dan masyarakatnya.
c. Sikap terhadap penguasa
Di dalam kehidupaan sehari-hari, sebenarnya terdapat dualisme tentang sikap masyarakat terhadap penguasanya. Di satu pihak, elit penguasa dinilai sebagai kelompok yang selalu meendominasi dan mengeksploitasi warga masyarakat pada umumnya, dan di pihak lain dinilai seba-gai pelindung dan kelompok yang memegang kekuasaan dan mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dualisme sikap terhadap penguasa seperti ini, jugaa berpengaruh kepada kecepatan adopsi inovasi, terutama jika kegiatan penyuluhannya selalu diikuti/didampingi atau dilaksanakaan sendiri oleh aparat pemerintah.
Sehingga kehadiran aparat penguasa kadang-kadang sa-ngat diperlukan, tetapi di pihak lain sering kali juga harus dihindarkan.
d. Sikap kekeluargaan
Sebagaimana juga telah dikemukakan pada Bab sebelum-nya, tidak ada satupun warga masyarakat sasaran yang mampu mengambil keputusan secara individual, tanpa mengikut sertakan keluarga atau kerabat dekatnya.
Oleh sebab itu, di dalam sistem sosial yang sikap keke-luargannya masih tebal, adopsi inovasi berlangsung relatif lambat, karena setiap pengambilan keputusan untuk mengadopsi selalu harus menunggu kesepakatan seluruh anggota keluarga atau kerabatnya. Dan ini relatif berbeda dengan masyarakat komersial yang individualistis, yang pada umumnya dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan penyuluhnya.
e. Fatalisme
Fatalisme adalah suatu kondisi yang menunjukkan keti-dakmampuan seseorang untuk merencanakan masa depan-nya sendiri, sebagai akibat dari pengaruh faktor-faktor luar yang tidak mampu dikuasainya.
Kondisi seperti ini, umumnya dimiliki oleh masyarakat petani yang kehidupan maupun usahataninya relatif masih sangat tergantung kepada keadaan alam, dan atau diper-kuat lagi dengan sistem pemerintahan otoriter yang kurang memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi fatalisme seperti itu, adopsi inovasi akan berlangsung sangat lam-ban, karena akan menghadapi resiko dan ketidakpastian yang sangat besar.
f. Kelemahan Aspirasi
Sebagai akibat lanjutan dari kondisi fatalisme adalah lemahnya aspirasi atau cita-cita untuk menikmati kehi-dupan yang lebih baik. Dalam kondisi seperti ini, sebagian besar masyarakat sasaran akan bersifat pasrah, dan cukup puas dengan apa yang dapat dinikmati tanpa adanya cita-cita dan harapan untuk dapat hidup yang lebih baik. Sehingga, setiap inovasi yang ditawarkan akan sangat lamban diadopsi.
g. Hanya berpikir untuk hari ini
Dengan lemahnya aspirasi yang disebabkan oleh fatalisme di atas, warga masyarakat yang bersangkutan tidak pernah berpikir tentang hari esok. Yang menyelimuti hati dan pikiran mereka hanyalah: bagaimana untuk bisaa hidup hari ini sepuas-puasnya, sedang hari esok tergantung kepada nasib.
Masyarakat seperti ini hanya berpandangan "quick yielding" yang cepat dapat dinikmati, dan akan sangat mengadopsi inovasi yang umumnya berupa investasi untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dalam jangka panjang.
h. Kosmopolitnes, yaitu tingkat hubungannya dengan "dunia luar" di luar sistem sosialnya sendiri.
Kosmopolitnes, dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media masaa.
Bagi warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi, bagi yang lebih "localite" (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi akan ber-langsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih "baik" seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri.
i. Kemampuan berpikir kritis, dalam arti kemampuan untuk menilai sesuatu keadaan (baik/buruk, pantas/tidak pantas, dll).
Akibatnya adalah, meskipun inovasi yang ditawarkan itu akan benar-benar dapat memberikaan peluang untuk meraih mutu hidup yang lebih baik, proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi tetap juga berjalan lamban.
j. Tingkat kemajuan peradabannya
Kemajuan tingkat peradaban, akan sangat menentukan ragam dan mutu kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh setiap individu dalam sistem sosial yang bersang-kutan (Lippit, 1958).
Karena itu, tingkat adopsi inovasi di dalam masyarakat yang lebih maju akaan relatif lebih cepat, karena setiap warga masyarakat terdorong untuk selalu ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang terus menerus mengalami perubahaan, baik dalam ragaam kebutuhannya maupun mutu yang diinginkannya.
3) Cara pengambilan keputusan
Terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakat, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi (individual) relatif lebih cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kelompok) warga masyarakat yang lain, apalagi jika harus menunggu peraturan-peraturan tertentu (seperti: rekomendasi pemerintah/penguasa).
B. Pendekatan Pendidikan
Osgood (1953) melalui penjelasannya mengenai teori rangsangan dan tanggapan (stimulus-response theory), mengemukakan bahwa proses adopsi yang merupakan salah satu bentuk tanggapan atas rangsangan (inovasi) yang diterima, sangat tergantung kepada manfaat atau reward, yang dapat diharapkannya, sedang besarnya tanggapan tersebut tergantung kepada: besar atau jumlah manfaat, kecepatan waktu penerimaan manfaat, frekuensi penerimaan manfaat, dan besarnya energi atau korbanan yang dikeluarkan.
C. Pendekatan psiko-sosial
Secara psikologis, kegiatan yang dilakukan oleh sese-orang (untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu), dilatar belakangi oleh adanya motivasi, yaitu tekanan atau dorongan (yang berupa kebutuhan, keinginan, harapan dan atau tujuan-tujuan) yang menyebabkan sesoan melakukan kegiatan tersebut (Berelson and Steiner, 1967; Newman and Newman, 1979).
Pal (Dahama dan Bhatnagar, 1989) mengungkapkan adanya 9 motivasi petani untuk menerapkan suatu inovasi, antara lain adalah: motif ekonomi, motif belajar, motif aktualisasi diri, motif afiliasi dan motif untuk memperoleh kekuasaan di lingkungannya.
D. Pendekatan Sistem Agribisnis
Soeharjo (1991) mengemukakan bahwa, kegiatan usahatani merupakan salah satu sub-sistem agribisnis, yang terdiri dari: sub-sistem pengadaan dan penyaluran input, sub-sistem produksi, sub-sistem pasca panen dan pemasaran, dan sub-sistem pendukung yang terdiri dari beragam unsur pelayanan (permodalan, perijinan, dll).
Sehubungan dengan itu, Sinaga (1987) menegaskan bahwa analisis tentang penggunaan input di dalam sub-sistem pro-duksi usaha tani, harus dilihat sebagai salah satu mata rantai dari analisis-analisis permintaan input, analisis proses pro-duksi, dan analisis pemasaran produk.
Berdasarkan pendekatan ini, maka variabel-variabel yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi adalah:
1) Kualitas pelayanan input, khususnya yang berkaitan de-ngan: pengadaan sarana produksi dan kredit.
2) Aplikasi dan supervisi dalam penggunaan input
3) Jaminan harga dan sistem pemasaran produk
E. Pendekatan Pengembangan Masyarakat
Dari “definisi baru” yang diberikan terhadap istilah penyuluhan pertanian (Bab 2) secara jelas dinyatakan bahwa tujuan akhir dari penyuluhan pertanian adalah untuk mewu-judkan masyarakat pertanian yang mandiri, profesional, dan berjiwa kewirausahaan.
Pemahaman seperti itu, membawa implikasi bahwa kesepatan adopsi inovasi yang diupayakan melalui kegiatan penyuluhan akan sangat ditentukan oleh:
1) Perilaku atau komitmen pimpinan wilayah selaku adminis-trator dan penanggungjawab pembangunan terhadap arti penting penyuluhan sebagai faktor penentu dan pelancar pembangunan.
2) Dukungan stakeholder yang lain yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mengadopsi inovasi yang ditawar-kan, terutama lembaga kredit, dan pelaku bisnis pertanian yang lain.
3) Pemahaman masyarakat tentang pentingnya penyuluhan bagi percepatan pembangunan yang menuntut partisipasi masyarakat.
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini