banyak kepustakaan tentang penyuluhan pertanian, selalu dinyatakan bahwa penyuluhan pertanian didefinisikan seba-gai sistem pendidikan non-formal (luar-sekolah) untuk petani dan keluarganya (Soejitno, 1968; Wiriaatmadja, 1973; Hamundu, 1997).
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa:
1) petani dan keluarganya merupakan sasaran-didik atau obyek penyuluhan pertanian.
2) obyek penyuluhan pertanian hanya terbatas pada petani dan keluarganya.
Terhadap pemahaman seperti itu, seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan pergeseran paradigma pembangunan pertanian, nampaknya sudah saatnya dilakukan telaahan ulang,
Pertama, proses pendidikan (belajar mengajar) yang berlang-sung dalam kegiatan penyuluhan pertanian seharusnya meru-pakan proses “pendidikan orang dewasa” (adult education/ andragogie) yang berlangsung secara horizontal/lateral, ber-beda dengan paedagogie yang prosesnya berlangsung vertikal. Dalam “pendidikan orang dewasa”, keberhasilan pendidikan tidak diukur dari seberapa banyak terjadi transfer ilmu (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) melainkan diukur dari sebarapa jauh terjadi dialog antara peserta-didik dengan fasilitatornya.
Karena itu, pemahaman penyuluhan pertanian yang menem-patkan petani dan keluarganya sebagai obyek penyuluhan, sudah tidak tepat lagi. Di samping itu, sejalan dengan kema-juan teknologi informasi yang memungkinkan petani memper-oleh informasi/inovasi dari banyak pihak selain penyuluh, kenyataan menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, posisi penyuluh tidak selalu “di atas” sebagai pihak yang “lebih tahu”, lebih-pintar atau lebih-berkuasa. Sejak dua-puluh tahun terakhir, terutama di wilayah yang telah “maju” dan “terbuka”, hubungan penyuluh dan petani dalam proses penyuluhan telah bergeser dari hubungan “guru dengan murid” menjadi hubungan dua pihak yang sejajar, saling berbagi pengalaman, dalam kegiatan belajar-bersama.
Kedua,, kelambanan penyuluhan pertanian seringkali tidak disebabkan oleh perilaku kelompok “akar rumput” (grass-roots), tetapi justru lebih banyak ditentukan oleh perilaku, kebijakan dan komitmen “lapis atas” untuk benar-benar membantu/melayani (masyarakat) petani agar mereka lebih sejahtera.
Di samping itu, keberhasilan penyuluhan-pertanian tidak hanya tergantung pada efektivitas komunikasi antara penyuluh dan petani beserta keluarganya, tetapi sering lebih ditentukan oleh perilaku/kegiatan stakeholders pertanian yang lain, seperti: produsen sarana produksi, penyalur kredit usaha-tani, peneliti, akademisi, aktivis LSM, dll. yang selain sebagai agent of development sekaligus juga turut menikmati manfaat kegiatan penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan kenyataan ini, Departemen Pertanian (2002) telah melakukan revisi ter-hadap definisi penyuluhan pertanian dengan menyebutkan bahwa penyuluhan pertanian tidak hanya terbatas diperuntuk-kan bagi petani dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat pertanian yang lain
Berbicara tentang sasaran atau obyek penyuluhan pertanian, Mardikanto (1996) telah menggantinya dengan istilah penerima manfaat (beneficiaries) yang terdir dari:
1) sasaran-utama, yang terdiri dari petani dan keluarga-nya.
2) sasaran-penentu, yang terdiri: aparat birokrasi peme-rintah yang memegang otoritas penentu kebijakan pembangunan dan penyuluhan pertanian.
3) Sasaran-pendukung yang terdiri dari: pelaku bisnis pertanian (produsen sarana dan peralatan produksi, penyedia kredit usahatani, pedagang/penyalur sarana dan peralatan pertanian, pengolah dan pemasar produk perta-nian), peneliti, aktivis organisasi profesi, LSM, media masa, pers, budayawan, dll.
Terkait dengan telaahan ulang terhadap sasaran penyu luhan pertanian di atas, akan membawa implikasi yang luas terhadap:
1) Penghayatan setiap insan penyuluh terhadap pendekatan, strategi, dan metoda penyuluhan yang partisipatip, yang membawa konsekuensi terhadap perubahan perilaku penyuluh (baik yang berstatus pegawai negeri, aktivis LSM, pedagang/karyawan produsen sarana-produksi dan peralatan pertanian, serta petugas penyalur kredit usahatani) untuk lebih menghargai petani sebagai mitra-kerja dan bukannya terus menerus menempatkannya sebagai obyek kegiatan/bisnis mereka.
2) Perubahan kegiatan penyuluhan pertanian yang tidak lagi diarahkan terpusat kepada petani dan keluarganya, tetapi juga terhadap masyarakat pertanian yang lain sebagai stakeholders pembangunan pertanian.
Dalam banyak kasus, kegiatan penyuluhan bagi para pe-nentu kebijakan pembangunan dan penyuluhan pertanian yang selama ini tidak pernah disentuh karena dinilai sebagai pemegang otoritas yang “selalu benar”, terasa lebih penting untuk dikembangkan.
3) Pentingnya beragam bentuk kegiatan penyuluhan pertani-an yang tidak hanya ditujukan bagi petani dan keluarga-nya, seperti: pertemuan ilmiah dengan kalangan akademisi di perguruan tinggi, sekolah lapang bersama para peneliti, temu-usaha dengan para pelaku bisnis pertanian, pameran dan demonstrasi (cara dan hasil).
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini