Sejarah BIMAS di Indonesia
(Sebuah prespektip kecil membangkitkan kejayaan pertanian Indonesia)
Pembangunan pertanian di Indonesia yang selama ini telah berjalan ternyata tidak serta merta berjalan sebagaimana mestinya. Karena secara teoritis melalui industrialisasi sector pertanian akan menciut dimana tenaga kerja akan terserap oleh kota-kota besar namun demikian sector pertanian yang menciut tetap menghasilkan pangan yang cukup dengan kualitas yang tinggi (Wisnusaputra,2006)
Bagaimana dengan kondisi pertanian yang katanya berkelanjutan di Indonesia, sampai saat ini jusrtu boleh di bilang pertanian kita boleh di bilang berjalan di tempat tidak ada perubahan yang berarti tidak seperti pada saat BIMAS gencar di laksanakan. Lalu bagaimana fakta yang terbentuk pada tahun 2009 bahwa Negara Kita Indonesia berhasil melakukan swasemabada? Benarkah? Benar atau tidaknya kita sebagai masyarakat Indonesia dapat menilai sendiri.
Saya akan mencoba membuka wacana tentang BIMAS dari perfektip seorang mantan sekejen Departemen Pertanian yaitu (Alm. H. DR.(Hc) Drs. Mashud Wisnusaputra seperti yang di ungkapkan dalam bukunya Pembangunan pertanian Pedesaan dan pendidikan sebuah bunga rampai. Di masa lampau, Cliffort Geertz (1963) pernah mengungkapkan bahwa para petani di jawa khususnya menderita penyakit, yang di sebut involusi pertanian (agricultural involution). Penyakit ini menurut Cliffort Geertz menyebabkan sifat masyarakat petani Indonesia di pedesaan khusunya jaya menjadi statis, patas semangat dan penjlimetan ke dalam, dengan kemampuan peningkatan produksi sekedar sama (ayau lebih kecil) dari laju kenaikan penduduk. Jika dikaitkan dengan seluruh masyarakat Indonesia (baik di desa maupun di kota jawa maupun luar jawa) adalah jalinan kemiskinan bersama, yang menyulitkan perekonimian Indonesia kearah take off (Soewardi, 1976), Geertz mengemukakn bahwa terdapat celah memungkinkan masyarakat petani melakukan pola adopsi baru dari mekanisme kekalahan diri, melalui petani lapisan atas yang inovativ, yang secara langsung dapat melibatkan Petani lapisan bawah.
Dengan pemikiran demikian maka pada tahun 1965 (masa Orde Baru) terjadi adaptasi yang baru dan ini merupakan tyonggak berdirinya BIMAS dan INMAS di Indonesia. Dengan hasil 2,5 % pertahun menjadi 6% pertahun dalam kurun waktu hanya 6 tahun yaitu pada tahun 1965 – 1971. Di tahun 1973 areal lahan intensifikasi pertanian mencapai 4,2 juta Ha (56% dari areal persawahan di Indonesia) atau 73% areal pesawahan di pulau jawa. Kondisi ini berdapak kepada penentu kebijakan pada saat itu Presiden Soeharto di mana pada tanggal 10 April 1972 memberi peringatan kepada departemen pertanian agar target pada repelita I sebanyak 15,7 juta ton di tinjau kembali. Presiden Soeharto memperringatkan agar penogkatan produksi beras tidak menimbulkan over supply. Sehingga kejadian ini segera di tindak lanjuti oleh departem pertanian yang pada akhirnya tanggal 4 mei 1972 target produksi pertanian (dalam hal ini beras) di pandang perlu untuk dikurangi. Sehingga puncak dari program kejayaan BIMAS yang berkelanjutan sejak tahun 1965 menimbulkan efek yang luar biasa dimana pada tahun 1984 Bangsa Indonesia mengalami swasembada pangan (kusunya beras) dan mendapat pengakuan dari dunia internasional melalui FAO. Hingga tahun 1993 selama 25 tahun kenaikan produksi beras di Indonesia mencapai 240% hingga menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa pengekspor beras dari sebelumnya bangsa pengimpor beras terbesar.
Kondisi saat ini (sebuah pandangan kecil dari penulis)
Saat ini bangsa kita cenderung untuk mengimpor beras dengan alasan untuk menambah stok cadangan pangan nasional. Yang menjadi pertanyaan penulis kenapa harus kembali mengimpor beras bukankah kemarin kita membanggakan kita kembali berswasembada beras? Pada saat ini penulis pun melihat bahwa petani di Indonesia sebgaian besar diantaranya memilki lahan 0,2-0,4 Ha atau bisa di bilang kurang dari 1 Ha dengan hasil panen yang hanya mencukupi kebutuhan pangan pribadi. Bahkan dalam kasus lain banyak para petani kita menjual hasil panen untuk menutupi hutang akibat biaya produksi saprodi seperti pupu dan lain lainnya. Meskipun kadang kala pemerintah selalu menaikkan harga jual gabah dan beras denga tujuan untuk meningkatkan pendapataan si petani namun yang menjadi masalah yang sangat pelik bagi petani kecil dan buruh tani. Bagaimana tidak banyak dari mereka bukan menjual beras melainkan memberli kebutuhan hidup diluar beras yang harganya dapat kita tebak ikut merangkak naik seiring kenaikan harga beras. Dan ini juga termasuk bagian dari scenario apabila pemerintah melakukan impor beras.
Mosher (1969) mengungkapkan model pembangunan pertanian meliputi 6 unsur dasar yaitu :
1. Penelitian untuk menemukan dan mengembangkan teknologi usaha tani yang baru dan lebih baik
2. Penyediaan sarana produksi peratnian yang memadai
3. Menciptakan strruktur pertanian progresif atau oraganisasi pedesaan yang menyediakan berbagai unsure saluran agar bahan-bahan dan informasi mudah tersebar kepada masing-masing usaha tani dan masyarakat.
4. Perangsang untuk petani agar mau meningkatkan produksi (Penyuluhan pertanian yang baik)
5. Perbaikan tanah dan lahan
6. Pendidikan dan pelatihan bagi teknisi di bidang pertanian.
Adanya perubahan dan orientalisasi arah pembangunan pertanian bagi bangsa ini di mungkinkan untuk dapat kembali kemasa kemasaan yang tidak mustahil untuk dapat di raih kembali, metode, konsep, pelaksanaan yang berkesinambungan dan sistematis antara pemerintah sebagai penentu kebijakan dan petani serta penyuluh sebagai jembatan tentunya akan sangat di nantikan. (Azis Turindara @ Blogger)
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini