Kata rabuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kata lain dari pupuk. Satu kata ini telah menjadi 'hantu' sepanjang sejarah negeri ini. Ada dua hal yang ditakutkan: pertama, soal ketersediaannya. Kedua, soal harganya.
Di era orde baru, Presiden RI Soeharto langsung bertindak bila mendengar pupuk langka di pasaran nasional. Dirut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pupuk bisa diberhentikan karenanya.
Kekuatan dan perhatian penuh pemerintah itu mampu menjamin pasokan pupuk plus harganya yang rendah di tingkat petani. Konsumsi pupuk kimia (an organik) pun meningkat dari waktu ke waktu.
Namun tanpa disadari, akibat kebijakan itu, pemakaian pupuk kandang (pupuk organik/ kompos) mulai ditinggalkan petani. Akibatnya tanah-tanah pertanian makin keras dan tidak lagi subur. Soalnya, kandungan bahan organik tanahnya anjlok tinggal hanya 2 persen, idealnya adalah 5 persen.
Kini kesadaran pentingnya menggunakan rabuk organik mulai tumbuh. kesadaran itu juga dipicu oleh ketidakmampuan pemerintah memberikan dana subsidi pupuk. Pada tahun 2010, subsidi untuk pupuk dipangkas dari yang semula sekitar Rp 17 triliun, tinggal sekitar Rp 11 triliun.
Pengurangan subsidi pupuk ini, akan menaikkan harga pupuk kimia di tingkat petani.
Pemerintah membayangkan pupuk organik bisa jadi penyelamat petani. Itu bila petani mau dan mampu memproduksi pupuk organik sendiri. Budaya petani membuat rabuk organik pun ditumbuhkan kembali dengan sentuhan teknologi dan skala usaha dan ekonominya diperbesar.
Sehingga terkesan lebih modern dan berbudaya industri.
Rumah Kompos itulah yang dikembangkan Departemen Pertanian untuk itu. Deptan pada tahun 2009 telah memberikan bantuan membangun 154 rumah kompos. Ada bantuan bangunan rumah kompos yang cukup mewah, alat mesin pencacahnya, plus teknologi pembuatan mol (bakteri).
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini