Disampaikan Oleh Ir. Marcellinus Molo, M.S. Phd
EKONOMI KEMISKINAN
Sebagian besar penduduk dunia tergolong miskin. Jika kita mengetahui ekonmi kemiskinan, kita akan banyak mengetahui ekonomi sesungguhnya terjadi. Kebanyakan penduduk miskin di dunia hidup dari bidang pertanian. Jika kita mengetahui ekonomi pertanian, maka kita akan mengetahui ekonomi kemiskinan.
Ahli-ahli ekonomi merasa sulit memahami konstrain-konstrain preferensi dan kelangkaan (scarcity) yang menentukan pilihan-pilihan bagi kamun miskin. Kita semua tahu bahwa sebagian besar penduduk dunia tergolong miskin, bahwa mereka memperoleh sedikit sekali imbalan atas tenaga kerja mereka, bahwa separuh atau lebih dari pendapatan mereka yang sangat rendah dibelanjakan untuk bahan makanan, bahwa mereka sebagian besar tinggal di negara-negara berpendapatan rendah, dan bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian. Hal yang tidak banyak difahami oleh banyak ahli ekonomi adalah bahwa penduduk miskin tidak kalah dibanding penduduk kaya untuk memmperbaiki nasib mereka dan anak-anak mereka.
Apa yang telah kita pelajar selama sekade-dekade terakhir mengenai ekonomi pertanian akan tampak bagi orang-orang yang mengetahuinya dengan baik, sebagian bersifat paradoks. Pertanian di banyak negara berpendapatan rendah mempunyai kapasitas ekonomi potensial untuk memproduksi bahan makanan yang cukup bagi penduduk yang terus bertambah dan juga memperbaiki pendapatan serta kesejahteraan penduduk miskin secara berarti. Faktor-faktor produksi yang menentukan dalam perbaikan kesejahteraan penduduk miskin bukanlah ruang, energi dan lahan pertanian. Faktor-faktor penentunya adalah perbaikan kualitas penduduk dan peningkatan pengetahuan.
Dalam dekade-dekade terakhir ini, karya para akademis ekonomi telah sangat memperluas wawasan kita mengenai ekonomi modal manusiawi (the economics of human capital), khususnya ekonomi mengenai penelitian, tanggapan-tanggapan para petani terhadap teknik-teknik produksi baru yang menguntungkan, hubungan antara produksi dan kesejahteraan serta ekonomi keluarga. Akan tetapi, ekonomi pembangunan telah mengelami beberapa kesalahan intelektual.
Kesalahan utama anggapan bahwa teori ekonimi standar tidak cukup untuk memahami negara-negara berpendapatan rendah dan oleh karena itu suatu teori ekonomi yang lain perlu dikembangkan. Model-model yang dikembangkan untuk tujuan ini umumnya disambut dengan gembira, hingga menjadi jelaslah bahwa model-model tersebut merupakan hasil kajian intelektual yang terbaik. Beberapa ahli ekonomi memberikan reaksi dengan mengajukan penjelasan-penjelasan kultural dan sosial tentang keadaan perekonomian yang buruk di negara-negara berpendapatan rendah, walau pun kegunaan dari hasil-hasil studi sarjana-sarjana di bidang kultural dan tingkah laku tidak mudah di fahami. Jumlah ahli ekonomi yang menyadari bahwa teori ekonomi standar dapat digunakan pada masalah-masalah kelangkaan (scarcity) di negara-negara berpendapatan rendah seperti halnya pada masalah-masalah serupa di negara-negara berpendapatan tingi, kian bertambah.
Kesalahan ke dua, adalah pengabaian sejarah ekonomi. Ilmu ekonomi klasik dikembangkan pada saat banyak orang di Eropa Barat baru saja memperoleh pengidupan dari lahan-lahan tandus (miskin) yang mereka olah dan ditinggalkan dalam masa yang tidak lama. Sebagian akibatnya, para ahli ekonomi perintis menghadapi kondisi-kondisi serupa dengan yang sedang berlaku di negara-negara berpendapatan rendah sekarang. Pada masa Ricardo, kurang lebih separuh dari pendapatan keluarga para pekerja (buruh) di Inggris dibelajakan untuk bahan makanan. Demikian pula yang sedang dialami oleh banyak negara berpendapatan rendah. Marshall mengatakan kepada kita bahwa ’upah mingguan dari buruh-buruh Inggris kerapkali kurang dari harga setengah gantang (bushel) gandum yang berkualitas baik ketika Ricardo menerbitkan Principles of Political Economy and Taxation (1817). Upah mingguan dari buruh bajak di India pada saat sekarang kira-kira kurang dari harga dua gantang gandum . Pengetahuan mengenai pengalaman dan prestasi penduduk miskin pada masa-masa lampau akan sangat membantu suatu pemahaman akan masalah-masalah dan kemungkinan-kemungkinan bagi negara-negara yang kini berpendapatan rendah. Pemahaman seperti ini adalah jauh lebih penting daripada pengetahuan yang paling terinci dan pasti mengenai permukaan bumi atau mengenai ekologi, atau mengenai teknologi masa depan.
Persepsi historis tentang penduduk juga tidak ada. Kita mengekstrapolasi statistik global dan kagum akan interprestasi kita – terutama bahwa penduduk miskin berbiak seperti tikus kutup (lemmings) yang menuju kepada kepunahan mereka sendiri. Adanya penduduk dalam keadaan miskin, tidak pernah terjadi dalam sejarah sosial dan ekonomi kita sendiri. Perkiraan-perkiraan mengenai pertumbuhan penduduk yang destruktif di negara-negara miskin sekarang adalah juga palsu.
LAHAN DINILAI TERLALU TINGGI
Suatu pandangan yan dianut secara luas – pandangan naturalis (the natural earth view) – adalah bahwa luas lahan yang sesuai untuk menanam tanaman pangan adalah benar-benar tertentu dan persediaan energi untuk mengerjakan lahan semakin menipis. Menurut pandangan ini, tidaklah mungkin terus menerus memperoduksi bahan makanan dalam jumlah yang cukup untuk penduduk dunia yang bertambah. Suatu pandangan alternatif – pandangan sosial-ekonomi (the socio-economic view) – adalah bahwa manusia mempunyai kemampuan dan akal budi untuk mengurangi ketergantungannya pada lahan pertanian, pertanian tradisional, dan sumber energi yang terus merosot serta mengurangi biaya nyata dalam produksi bahan makanan untuk penduduk dunia yang terus bertambah. Melalui penelitian, kita menemukan pengganti terhadap lahan pertanian yang tidak pernah dibayangkan Ricardo, dan karena pendapatan meningkat, para orangtua menginginkan anak lebih sedikit, dan kualitas anak akan menggeser kuantitas anak, yang tidak pernah dibayangkan Malthus. Ironisnya ekonomi, yang telah lama dikenal sebagai ilmu pengetahuan suram, menunjukkan bahwa pandangan naturalis yang suram mengenai bahan makanan tidak sesuai dengan sejarah yang menunjukkan bahwa kita dapat memperbesar sumbe-sumber melalui kemajuan pengetahuan. Saya setuju dengan Margaret Mead bahwa ”Masa depan umat manusia adalah – terbuka –tertutup (open-ended)”. Masa depan umat manusia tidak ditakdirkan oleh ruang, energi, dalam lahan pertanian, ia ditentukan oleh evolusi akal budi umat manusia.
Perbedaan-perbedaan produktivitas lahan tidak menjelaskan mengapa penduduk miskin berada di bagian dunia yang telah lama berpengehuni. Penduduk di India telah menjadi miskin sejak berabad-abad lamanya baik di Plateau Deccan, di mana produktivitas lahan tadah hujan adalah rendah dan di lahan-lahan India Selatan yang produktivitasnya tinggi. Di Afrika penduduk berdiam di lahan-lahan yang tidak produktif yang terletak di bagian selatan Sahara, pada lahan-lahan yang agak lebih produktif di lereng-lereng yang curam di daerah Rift, dan lahan-lahan aluvial yang sangat produktif di sepanjang dan pada muara Sungai Nile, semuanya memiliki suatu kesamaan: mereka sangat miskin. Demikian pula, perbedaan-perbedaan yang sangat terkenal mengenai rasio lahan penduduk di seluruh negara berpendapatan rendah, tidak menghasilkan perebdaan kemiskinan yang sebanding. Apa yang paling berarti di dalam hal lahan pertanian, adalah insentif-insentif dan kesempatan-kesempatan terkait bagi para petani untuk meningkatkan penggunaan lahan dengan efektif melalui investasi yang mencakup sumbangan-sumbangan penelitian pertanian dan perbaikan ketrampilan manusia, satu bagian integral dari modernisasi ekonomi negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah adalah penurunan arti ekonomi dari lahan pertanian dan peningkatan modal manusiawi: ketrampilan dan pengetahuan.
Meskipun sejarah ekonomi, ide-ide dari para ahli ekonomi mengenai lahan adalah sebagai satukaidah, masih mengikuti Ricardo. Tetapi konsep Ricardo mengenai tanah, ”daya-daya lahan yang asli dan tak dapat dirusah” tidak sesuai lagi, walau keadaan tersebut pernah terjadi. Sumbangan lahan dalam pendapatan nasional berupa sewa tanah yang merosot terus menerus dengan nyata di negara-negara berpendapatan rendah.
Mengapa hukum Ricardo mengenai sewa (yang memperlakukannya sebagai hasil dan bukan sebagai penyebab dari harga-harga) kehilangan arti ekonominya? Ada dua sebab utama: pertama. Modernisasi pertanian telah mengubah lahan miskin menjadi lahan sangat produktif dibanding keadaan alam; Kedua, penelitian pertaniah telah menghasilkan substansi bagi lahan pertanian. Dengan beberapa perkecualian setempat. Lahan-lahan di Eropa pada mulanya berkualitas rendah. Sekarang lahan-lahan tersebut sanagt produktif. Lahan-lahan di Finlandia semula kurang produktif dibanding lahan di bagian-bagian barat Uni Sovyet, tetapi sekarang lahan pertanian di Finlandia menjadi lebih unggul. Lahan pertanian di Jepang pda masa sekarang ini lebih unggul. Di negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah, perbahan-perubahan ini sebagian merupakan konsekuansi dari penelitian pertanian’ termasuk penelitian yang diwujudkan dalam bentuk pupuk buatan, pestisida, peralatan dan masukan-masukan (inputs) lain. Ada substitusi-substitusi baru terhadap lahan pertanian, atau perluasan lahan pertanian. Proses substitusi digambarkan dengan baik pada tanaman jagung: areal panen jagung di Amerika Aerikat pada tahun 1979 ada 33 juta area, yang kurang dari areal panen tahun 1932, dan menghasilkan 7,76 mmilyar gantang, tiga kali produksi 1932.
KUALITAS MANUSIA DINILAI TERLALU RENDAH
Sementara lahan bukan satu-satunya faktor terpenting yang menyebabkan kemiskinan, faktor manusia yaitu : investasi dalam perbaikan kualitas manusia dapt dengan nyata meningkatkan prospek-prospek ekonomi dan kesejahteraan penduduk yang miskin. Pemeliharaan anak, perumahan dan pengalaman bekerja, perolehan informasi dan ketrampilan yang diperoleh melalui sekolah dan investasi-investasi lain dalam bidang kesehatan dan sekolah dapat memperbaiki kualitas penduduk. Investasi-investasi seperti itu di negara-negara berpendapatan rendah telah berhasil memperbaiki prospek-prospek ekonomi yang tidak mampu dihilangkan oleh ketidakstabilan politik. Penduduk miskin di negara-negara berpendapatan rendah bukanlah para tahanan dari suatu ekuilibrium kemiskinan yang ketat, yang tak dapat dipecahkan ilmu ekonomi. Tidak ada kekuatan-kekuatan besar (luas biasa) yang menghapus semua perbaikan ekonomi dan menyebabkan penduduk miskin meninggalkan perjuangan ekonominya. Sekarang telah terkumpul bukti-bukti bahwa penduduk pertanian yang miskin mempunyai reaksi terhadap kesempatan-kesempatan yang lebih baik.
Harapan-harapan dari manusia dalam pertanian-buruh pertanian dan usahawan (enterprenir) usahatani yang bekerja dan mengalokasikan sumber-sumber dibentuk oleh kesempatan-kesempatan baru dan oleh insentif-insentif yang mereka tanggapi. Insentif-insentif ini, yang eksplisit di dalam harga-harga yang mereka bayar untuk produsesn dan barang serta jasa yang dikonsumsi, sangat terdistorsi yang disebabkan oleh permerintah (goverment-incude distorsions) adalah untuk engurangi sumbangan ekonomi yang mampu diberikan pertanian).
Pemerintah cenderung mengintroduksi distorsi-distorsi yang mendiskriminasikan pertanian karena politik dalam negeri umunya menguntungkan penduduk kota atas biaya penduduk pedesaan, walaupun jumlah penduduk pedesaan jauh lebih besar . Pengaruh politik dari konsumen dan industri di kota memungkinkan mereka memperoleh bahan makanan murah atas biaya sejumlah besar penduduk pedesaan yang miskin. Diskriminasi ini dirasionalisasi dengan alasan bahwa pertanian bersifat terbelakang (miskin) dan bahwa sumbangan ekonominya kurang berarti, walaupun dengan Revolusi Hijau (Green Revolution). Industrialisasi yang cepat dianggap sebagai kunci kemajuan ekonomi. Kebijaksanaan yang memberikan prioritas utama terhadap industri dan mempertahankan harga pangan (biji-bijian) tetap murah. Sangat disesalkan bahwa doktrin ini masing didukung oleh beberapa lembaga donor dan dirasionalisasikan oleh beberapa ahli ekonomi di negara-negara berpendapatan tinggi.
Para petani di dunia , dalam menghadapi biaya, penerimaan dan resiko, adalah agen-agen yang membuat perhitungan ekonomi. Di dalam domain mereka yang kecil, individual dan alokatif, mereka adalah usahawan-usahawan yang dengan diam-diam mengamati kondisi-kondisi ekonomi yang tidak diketahui oleh para ahli, betapa efisiennya mereka. Walaupun para petani berbeda kemampuannya dalam pengamatan (analisa), interprestasi dan mengambil tindakan tepat sebagai reaksi terhadap informasi baru, karena mereka berbeda pendidikan, kesehatan, dan pengalaman. Mereka mempunyai sumber daya manusia yang esensial berupa keusahawanan. Pada kebanyakan usahatani, para wanita adalah juga usahawati dalam mengalokasikan waktu mereka dan menggunakan produk-produk pertanian dan barang-barang yang dibeli dalam produksi rumah tangga. Kemampuan alokatif dipenuhi oleh jutaan pria dan wanita pada satuan-satuan produksi berskala kecil, karena pada umumnya pertanian merupakan sektor ekonomi yang sangat terdesentralisasi. Bila pemerintah telah mengambil alih fungsi keusahawanan dalam usahatani, mereka telah gagal memberikan suatu kemampuan substitusi alokatif yang efektif dalam modernisasi pertanian. Peranan-peranan alokatif para petani dan wanita-tani serta kesempatan-kesempatan ekonomi mereka adalah penting.
Keusahawanan adalan juga esensial dalam penelitian, yang selalu merupakan suatu kegiatan petualangan, yang memerlukan organisasi dan alokasi sumber-sumber yang langka. Intisari penelitian adalah bahwa penelitian merupakan suatu upaya dinamis tentang hal-hal yang belum diketahui atau setengah diketahui. Diperlukan dana, organisasi, dan ilmuwan yang kompeten, tetapi semuanya ini belumlah lengkap. Keusahawanan dalam bidang penelitian diperlukan baik oleh para ilmuwan atau oleh orang-orang yang terlibat dalam sektor penelitian dari ekonomi. Seseorang harus memutuskan bagaimana mendistribusikan sumber-sumber terbatas yang tersedia, berdasarkan keadaan pengetahuan yang dimilikinya.
DISEKUILIBRIA YANG TAK TERHINDARKAN
Transformasi pertanian ke dalam suatu keadaan produktif yang meningkat, memerlukan suatu proses yang umumnya dikenal sebagai modernisasi, yang memerlukan penyesuaian dalam bertani karena tersedia kesempatan-kesempatan yang lebih baik. Nilai dari kemampuan menghadapi disekuilibria adalah tinggi dalam suatu ekonomi yang dinamis. Disekulibria seperti itu tidak dapat terhindarkan. Disekuilibria tidak dapat dieliminasi melalui hukum, melalui kebijaksanaan Pemerintah dan jelas-jelas bukan dengan cara retorik. Pemerintah tidak dapat dengan efesien memainkan fungsi usahawan-usahawan pertanian.
Ahli-ahli sejarah masa depan pasti akan dibingungkan oleh luasnya insentif-insentif ekonomi yang telah berantakan selama dekade-dekade terakhir. Pandangan intelektual yang dominan bersifat antagonistik terhadap insentif-insentif pertanian, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang berlaku mengurangi fungsi insentif-insentif produsen. D. Gale Johnson telah menunjukkan bahwa potensi ekonomi yang besar dari pertanian di banyak negara berpendapatan rendah tidak terealisir. Kemungkinan-kemungkinan teknis telah menjadi semakin menguntungkan tetapi insentif-insentif ekonomi yang diperoleh para petani di negara-negara tersebut untuk merealisir potensi ini tidak berhasil, baik karena informasi relevan tidak tersedia atau karena harga-harga dan biaya-biaya yang dihadapi para petani telah terdistorsi. Karena ketiadaan insentif-insentif yang menguntungkan, para petani tidak melakukan investasim, termasuk pembelian input-input unggul. Intervensi oleh Pemerintah saat ini merupakan penyebab utama dari tidak tersedianya insentif-insentif ekonomi yang optimum.
KEMAJUAN KUALITAS PENDUDUK
Sekarang saya beralih kepada peningkatan kualitas manusia yang dapat diukur baik untuk penduduk yang bertani mau pun bukan petani. Kualitas dalam kontek ini terdiri dari berbagai bentuk modal manusiawi (human capital). Saya telah mengemukakan di mana saja bahwa walaupun ada alasan kuat untuk menggunakann suatu definisi modal manusiawi yang sangat tepat, definisi tersebut akan mengalami pula kemenduaan (ambiguities) yang terus menganggu teori kapital (capital theory) pada umunya, dan konsep kapital dalam model-model pertumbuhan ekonomi pada khususnya. Kapital itu bermuka-dua, dan apa yang dijelaskan ke dua muka itu kepada kita tentang pertumbuhan ekonomi, yang merupakan suatu proses dinamis, sebagai suatu kaidah, adalah sejarah-sejarah yang tidak konsisten. Memang seharusnya demikian, karena kisah biaya merupakan kisah dari investasi yang terbenam (cunk investment); misalnya, sekali seorang petani mengadakan investasi berupa kereta kuda, kereta tersebut hanya sedikit nilainya bila ditarik oleh traktor. Cerita lain mengenai nilai terdiskon (discounted value) dari arus jasa-jasa yang disumbangkan kapital, yang berubah sesuai dengan perubahan pertumbuhan. Tetapi yang lebih buruk adalah anggapan, yang mendasari teori kapital dan agregasi kapital dalam model-model pertumbuhan, bahwa kapital bersifat homogen. Setiap bentuk kapital memiliki sifat-sifat khusus: sebuah bangunan, sebuah traktor, jenis pupuk tertentu, sebuah sumur pompa, dan banyak bentuk investasi lainnya, tidak hanya di bidang pertanian, tetapi juga dalam semua aktivitas produksi yang lain. Seperti telah diajarkan oleh Hick kepada kita, asumsi homogenitas kapital ini merupakan malapetaka bagi teori kapital : Adalah sangat tidak tepat menganalisa dinamika pertumbuhan ekonomi terutama menyangkut ketimpangan kapital karena perbedaan-perbedaan rates of returns, apakah agregasi kapital dipandang dari segi biaya-biaya faktor (factor costs) atau dipandang dari segi nilai terdiskon dari jasa-jasa seumur hidup (lifetime services) dari berbagai bagian-bagiannya. Juga tidak ada suatu katalog dari semua model pertumbuhan yang ada, dapat membuktikan bahwa ketimpangan-ketimpangan ini adalah sama.
Tetapi, mengapa mencoba mengubah lingkaran menjadi empat per segi? Jika kita tidak dapat mengamati ketimpangan-ketimpangan ini, kita harus menemukannya, karena ketimpangan-ketimpangan itu merupakan pegas utama dari pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan-ketimpangan merupakan pegas utama karena ia memberikan isyarat-isyarat ekonomi yang mendorong pertumbuhan. Maka salah satu bagian penting dari pertumbuhan ekonomi tertutup oleh agregasi kapital seperti itu.
Nilai dari modal manusiawi tambahan tergantung kepada kesejahteraan tambahan yang diperoleh manusia daripadanya, modal manusiawi memperbesar produktivitas pertanian dan non pertanian, dalam produksi rumah tangga, dalam waktu dan sumber-sumber lain yang dialokasikan para mahasiswa untuk pendidikan mereka, dan dalam migrasi untuk memperoleh kesempatan kerja yang lain baik. Kemampuan semacam itu juga sangat memperbesar kepuasan-kepuasan yang merupakan suatu bagian integal dari konsumsi sekarang dan konsumsi di masa depan.
Keterangan Sumber :
* Bab ini disusun berdasarkan kuliah Nobel yang saya sampaikan pada tanggal 8 Desember 1979, di Stockhlm, Swedia, hakcipta @ Yayasan Nobel 1979. saya berhutang budi kepada gary.S.Becker, Milton Friedman, A.C. Harberger, D.Gale Johnson, dan T.Paul Schultz atas saran-saran mereka dan juga kepada isteri saya, Ester Schultz, atas saran-sarannya erhadap apa yang saya piker telah saya nyatakan dengan jelas, tetapi baginya belum cukup jelas.
Alfred Marshall, Principles of Economics, edisi ke 8 (New York:Mac Millan, 1920), hal. XV
Theodore W. Schultz, “On the Economics of the Increases in the Value of Human Time over Time,” dalam Economics Growth and Resources, Vol.2: Trend and Factors, Ed. R.C.O. Mathew (London:MacMillan, 1980), the Proceeding of the Fifth World Conggress of the International Economics Association, Tokyo.
Untuk suatu diskusi lebih lengkap, lihat karangan saya, “On Economics and Politics of Agriculture,” dalam Distortions of Agricultural Incentives, Ed. Theodore W.Schultz (Bloomington, Ind.: Indiana University Press, 1978), hal. 3-23
Lihat Theodore W.Schultz, Transforming Tradisitional Agriculture (New Haven:Yale University Press, 1964; repr. New York: Arno Press, 1976).
Finish Welch, “Education in Production, “Juournal of Political Economy 78 (Januari-Februari 1970):35-59; idem The Role of Investments in Human Capital in Agriculture dalam Distortions of Agriculture Incentives Hal.259-81; Robert E.Evenson,”The Organization of Research to Improve Crops and Animals in Loe-income Countries, “dalam Distortions of Agriculture Incentives hal. 223-45
Theodore.W.Schultz,Ed., Economics of the Family:Marriage, Children, and Human Capital (Chicago:University of Chicago Press, 1974)
Lihat Theodore W. Schultz, “The Value of the Ability to Deal with Disequilibria, “Journal of Economic Literature 13 (September 1975): 827-46.
D. Gole Johnson, “Food Production Potentials in Developing Countries: Will They be Realized? “Bureau of Economic Studies Occasional Paper No.1 (St.Paul, Minn.: Macelester College, 1977); Idem, “International Prices and Trade in Reducing the Distortions of Incentives,” dalam Distortions of Agricultural Incentives, hal. 195-215.
Theodore W. Schultz, “Human Capital : policy issues and Research Opportunities, “Human Resources (New York : National Bureau of Economic Research, 1972).
John Hikcs, Capital and Growth (Oxford : Oxford University Press, 1965), Bab 3 hal. 35.
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini