Top Headlines

05 January, 2010

Pelaksanaan Perhutanan Sosial Diluar Pulau Jawa

Share/Bookmark
Pelaksanaan Perhutanan Sosial Diluar Pulau Jawa

A. Pelaksanaan HPH Bina-Desa
Eksploitasi besar-besran terhadap hutan sejak tahun 1990an di daerah pulau jawa mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan dan dirasakan dampak negatifnya oleh masyarakat desa-hutan yang terisolasi dengan sumberdaya-hutan yang sejak nenek moyangnya secara turun temurun dijadikan sumber kehidupan baik dalam artu ekonomi, sosial budaya, maupun ekologis. Bahkan keberadaan masyarakat hutan sering dinilai sebagai ancaman atau dicurigai sebagi pihak-pihak yang meusak hutan, baik oleh pemegang HPH maupun aparat pemerintah.

Sejak tahun 1990’an pemerintah menetapkan kebijakan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dalam bentuk pengembangan program HPH-Bina Desa melalui SK Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/1991 tentang Peranan Pemegang HPH dalam pembinaan Masyarakat Di Dalam dna Di Sekitar Hutan yang ditindak lanjuti dengan SK Dirjen Pengusahaan hutan no. 17/kpts/IV-PHH/1992 tentang Pedoman Pembinaan Terhadap Pemegang HPH dalam rangka Pelaksanaan HPH Bina Desa Hutan dan SK Dirjen RRL No. 14/Kpts/V/1992 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan HPH Bina Desa Hutan.
Khusus tentang pelaksanaan HPH-Bina Desa ini, meskipun secara konseptual diawali dengan studi diagnostik dan penyusunan perencanaan kegiatan secara partsipatip, tetapi realisasi yang akan dijumpai dilapanagn tidak seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi, karena bebebrapa hal :
1. Belum adanya kesamaan persepsi dikalangan aparat kehutanan baik di Pusat maupun di Daerah tentang konsep dan Implementasi HPH Bina Desa dilapangan. Belum adanya kesamaan persepsi juga terjadi diantara aparat kehutanan, aparat pemeritahan daerah, tokoh masyarakat setempat dan pemegang HPH yang terkait.
2. Bagi Pemegang HPH maupun aparat kehutananm program HPH bina Desa belum dipahami dan disikapi sebagai ”salah satu strategi sosial” untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan kehutanan, tetapi lebih disikapi sebagi ”biaya sosial” yang harus dikeluarkan oleh pemegang HPH sebagai salah satu syarat untuk memperoleh persetujuan RKT (Rencana Kegiatan Tahunan)
3. Bagi (tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan daerah, seringkali program HPH-ina Desa dinilai sebagi sumer penghasilan tambahan sedang fungsinya untuk menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan relatif tidak dipahami.
Terkait dengan pelaksanaan HPH-Bina Desa, Mubyarto, dkk(1999) melaporkan bahwa :
1. secara fisiologis kegiatan ini terperangkap pada pemahaman untuk mengendalikan peladangan berpindah, dan bukannya secara sungguh-sungguh diarahkan untuk pemeberdayaan masyarakat agar kesejahteraannya semakin baik.
2. Meskipun didalam konsep adanya 5 kegiatan pokok, yaitu pengembangan usahatani menetap, perbaikan ekonomi, pembanguan sarana dan Prasarana, pelestarian sosial budaya, pelestarian hutan dan lingkungan hidup, tetapi pada kenyataannya hanya dipusatkan pada pengembangan usahatai menetap.
3. Rancangan HPH Bina-Desa belum mengakomodasikan keinginan masyarakat untuk memiliki lahan (bekas) peladangan yang merka bangun kemudian dimasukkan kedalam araeal HPH terkait.
4. Belum adanya ”pengakuan HPH dan pemerintah tentang usahatani menetap (kebun tanaman keras) yang telah dilakukan masyarakat melalui peladangan berpindah.
5. Masih adanya kesalahan pemahaman seolah-olah HPH merupakan kepanjangan tangan pemeritah utntuk mengeluarkan mereka dari area HPH-nya.



B. Pengembangan Hutan Kemasyarakatan
1. Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan
Proyek ini dirancang untuk dapat berlangsung 10 tahun, yang dbagi dalam tahapan-tahapan
a. Tahap Orientasi (1990-1993) untuk merumuskan model hutan kemasyarakatan yang akan dikembangkan
b. Tahap Implemantasi (1993-1997) merupakan pelaksanaan model
c. Tahap konsolidasi dan diseminasi (1997-2000) merupakan tahapan pementapan dan penyebarluasan model.
d. Tahap Pemantapan model (2000-2002)
Dari hasil evaluasi yang dilakukan pad tahun 1998, didapatkan informasi tentang berbagi manfaat sebagi berikut :
a. Perbaikan dan pelestraian sumberdaya hutan yang dihasilkan melalui usaha tani menetap, reboisasi pertisipatip dan pengamanan swadaya yang berlandaskan kesepakatan /peraturan adat.
b. Perluasan kesempatan kerja dan pendapatan asyrakat dar berbagi kegiatan-kegiatan, reboisasi partisipatio, pembentukan UBSPP (usaha Besama Simpan Pinjam Pedesaan), dan Kios sarana produksi/sembako
c. Pengembangan partisipasi masyarakat, terutama untuk kegiatan-kegiatan, persemaian, pembangunan jalan-hutan, dll.
d. Peningkatan kulaitas SDM melalui pelatihan, lokakarya, karya-wisata dll.
e. Dapak positip terhadap penumbuhan dan efektivitas kelembagaan, keterpaduan pembangunan wilayah dan peningkatan pendapatan aseli daerah (PAD).
2. Proyek hutan kemasyarakatan dipropinsi Nusa tenggara Barat (NTB) Nusa Tenggara Timud dan Timor Timur, yag merupakan kawasan konversi program HTI (hutan tanaman industri) yang dikelola oleh perhutani, sejak 1993/1994.


3. Proyek-proyek pengembangan hutan kemasyarakatan di 15 propinsi, kegiatan ini dilaksanakan sejak 1994/1995 dipropinsi
NAD Sumsel Sulsel
Sumut Lampung Sulteng
Sumbar DIY Kaltim
Jambi Bali Maluku
Bengkulu Sulut Papua
Hasil evealuasi tahun 1997 menunjukkan bahwa pelaksanaan proyek ni masih jauh dari tujuan yang diharapankan, baik dari realisasi penanaman dan pemelihaaan, maupun proses pembangunan yang belum sepenuhnya mengikuti prinsip-pronsip pengelolaan hutan partisipatip.
4. Proyek kehutanan Masyarakat dengan dukungan dana pinjaman dari OECF di 10 provinsi, kegiatan ini lebih dimaksydkan sebagi program jaring pengaman sosial (JPS) sektor kehutanan mulai 1998/1990 di propinsi-propinsi :
Riau NTT
Jambi Sulawesi Tengah
Bengkulu SulSel
Sumbar Sulawesi tenggara
NTB Maluku
Hasil evaluasi tahun 2001 menunjukan bahwa proyek ini telah memberikan manfaat bagi penanaman dan pengayaan populasi tanaman dikawasan hutan, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, serta pertumbuhan dan berkembanganya partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya alam.
C. Pengembangan Hutan Rakyat
Seiring dengan meningkatnya permintaan kayu dan semakin membaiknya harga kayu serta hutan-hutan ikutan (non-kayu) lainnya, telah mendorong masyarakt desa-hutan untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Pusat-pusat pengembangan hutan rakyat itu, banyak dijumpai di Riau, Sumater Selatan, Sulaweai Selatan, dll.
Pengembangan hutan rakyat seperti itu, semakin meluas seiring dengan ditetapkannya kebijakan otonomi daerah yang memungkikan pemerintah darah memeanfaatkan dana alokasi khusus (DAK) untuk pelaksanaan reboisasi.


D. Pengelolaan Hutan Adat
Hampir diseluruh wilayah indonesia, dijumpai adanya ”hutan-adat” yang dikelola oleh masyarakat menuru peraturan adat setempat sebagai : ”hak ulayat” beragam bentuk hutan-adat seperti itu, antara lain dapat dijumpai di lampung barat (repong damar), kalimantan barat (tembawang), Sumba Barat, Lombok barat (di sesaot), dll.
Keberadaan hutan adat tersebut sebelu era reformasi dipandang ”tidak ada” karena tidak didukung dengan bukti-vukti formal yang dapat dipertanggungjawabkan tetapi, sering dengan bergulirnya tuntutan reformasi total, banyak diantara yang telah memperoleh pengakuan adan dikembalikanna pengelolaanya (untuk dikeluarkan dari HPH terj\kait) kepada msayarakat adat setempat.

0 komentar:

Post a Comment

Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More