Top Headlines

18 June, 2010

Meneropong Masa depan penyuluhan di Indonesia

Share/Bookmark
Di masa mendatang, kegiatan penyuluhan pertanian akan menghadapi tantangan-tantangan, terutama yang diakibatkan oleh pertumbuhan populasi penduduk di tengah-tengah semakin sempitnya lahan per-tanian, sehingga usahatani harus semakin mengkhususkan diri serta meningkatkan efisiensinya.

Dalam perspektif pemerintah, apapun prioritas yang akan ditempuh, kegiatan penyuluhan pertanian akan tetap menjadi kebijakan kunci untuk mempromosikan kegiatan Pertanian Berkelanjutan baik dalam kontek ekologi maupun sosial-ekonomi ditengah-tengah sistem pemerintahan yang birokratis dan semakin terbatas kemampuannya untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik. Di lain pihak, kegiatan penyuluhan harus semakin bersifat “partisipatip” yang diawali dengan analisis tentang keadaaan dan kebutuhan masyarakat melalui kegiatan Penilaian Desa Partisipatip atau participatory rural appraisal/PRA (Chambers, 1993). Meskipun demikian, kegiatan penyuluhan per-tanian akan banyak didukung oleh kemajuan teknologi informasi.
Karena itu, di masa depan, kekuatan dan perubahan penyuluhan per-tanian akan selalu terkait dengan keempat hal yang akan dikemuka-kan berikut ini (Rivera & Gustafson, 1991):
(3) Iklim ekonomi dan Politik
Sejak krisis ekonomi dan politik melanda beberapa negara pada akhir abad 20, banyak negara yang tidak lagi mampu membiayai kegiatan publik di tengah-tengah tuntutan demokratisasi.
Karena itu, kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan seca-ra lebih efisien untuk dapat melayani kelompok sasaran yang lebih luas, dan di lain pihak, pemerintah akan lebih banyak menyerahkan kegiatan penyuluhan kepada pihak swasta.
(4) Konteks sosial di wilayah pedesaan
Di masa depan, masyarakat pedesaan relatif berpendidikan, lebih banyak memperoleh informasi dari media masa serta terbuka dari isolasi geograpis, lebih memiliki aksesi-bilitas dengan kehidupan bangsanya sendiri dan dunia internasional. Karena itu, penyuluh-an pertanian harus mampu menjawab tantangan pertumbuhan penduduk, meningkatnya urbanisasi, perubahan aturan/kebijakan, persyaratan pasar, serta kebutuhan masyarakat akan beragam layanan seperti: pelatihan, spesialisasi, pelatihan kompetensi dan bentuk-bentuk organisasi (Moris, 1991). Sehubungan dengan itu, penyuluhan pertanian di masa depan harus meninggalkan mono-poli pemerintah sebagai penyelenggara penyuluhan, mampu melayani beragam kelompok-sasaran yang berbeda, tidak saja terkait dengan keragaman kategori adopternya, tetapi juga yang terkait dengan aksesibilitas pasar, derajat komersialisasi serta ketergantungannya pada usahatani untuk perbaikan penda-patan dan kesejahteraannya.
(3) Sistem Pengetahuan
Terjadinya perubahan politik yang berdampak pada debiro-kratisasi, desentralisasi (pelimpahan kewenangan) dan devolusi (penyerahan kewenangan) kepada masyarakat lokal, juga akan berimbas pada pengembangan usahatani yang memiliki spesifi-kasi lokal. Pengakuan terhadap pentingnya spesifikasi lokal, harus dihadapi dengan pengakuan penyuluh terhadap kemampuan petani, pengalaman petani, penelitian yang dilakukan petani, serta upaya-upaya pengembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu, penyuluh harus menjalin hubungan yang partisipatip dengan kelompok sasarannya, khususnya dalam pemanfaatan media-masa untuk menunjang kegiatan penyuluhan di wilayah-kerjanya.
(4) Teknologi Informasi
Perkembangan telekomunikasi dan penggunaan komputer pribadi/ PC akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan per-tanian di masa depan. Kelompok sasaran yang memiliki kemam-puan memanfaatkan teknologi informasi/IT akan relatif lebih independen. Dengan demikian, fungsi penyuluh tidak lagi “menyampaikan pesan” melainkan lebih bersifat fasilitatif dan konsultatif, dan karena itu akan menuntut jalinan interaksi partisipatip yang semakin intensif dengan kelompok-sasarannya.
Khusus di Indonesia, masa depan penyuluhan pertanian perlu mem-perhatikan:
(5) Kemandirian Penyuluhan Oleh Masyarakat
Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh pemerintah. Hal ini terlihar bahwa, pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh “pangreh praja”, “pamong praja”, aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat “loyal” kepada pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya memper-oleh penghargaan dari masyarakatnya). Sayangnya kebijakan peme-rintah tidak selalu berpihak kepada petani. Bahkan seringkali campur-tangan pemerintah tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan kepentingan petani dan lebih mementingkan pemangku-kepentingan yang lain.
Praktek serupa, juga dapat dicermati dari kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh (perusahaan) swasta yang lebih menguntungkan dan atau berorientasi kepada kepentingan pengusaha dari pada kepentingan petani; serta penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh beberapa oknum pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang lebih berorientasi dan menguntungkan (agenda terselubung) penyandang dana, atau kepentingan Asing.
Pengalaman tersebut, mendorong pemikiran kearah kemandirian penyelenggaran penyuluhan oleh masyarakat, untuk kepentingan masyarakat. Sebab, selama penyuluh berasal (diangkat dan dibayar) pihak luar, selama itu pula mereka akan lebih berpihak kepada kepentingan “luar” disbanding kepentingan petaninya.
Pemikiran seperti itu, juga disampaikan oleh Puspadi (2006) yang menyatakan bahwa: penyuluhan yang dikelola petani merupakan pendekatan penyelenggaraan penyuluhan pertanian partisipatif pada tingkat tertinggi yang merupakan alternatif untuk mendekatkan sumberdaya informasi dan teknologi di pedesaan.
Terkait dengan hal ini, sering muncul pertanyaan: apakah masyarakt mampu membiayai penyuluhnya? Jawabnya: mampu, asal benar-benar diberi kesempatan dan kepercayaan untuk melepaskan diri dari proyek-proyek pemerintah, swasta dan LSM.
(6) Desentralisasi Penyuluhan
Seiring dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan yang digulirkan sebagai tuntutan reformasi sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999, desentralisasi penyuluhan pertanian yang sudah digulirkan sejak tahun 1995 semakin menjadi keharusan.
Terkait dengan itu, penyuluhan spesifik lokal yang memperhatikan indigenuous technology, serta budaya dan kearifan-lokal semakin menjadi kebutuhan di masa depan
(7) Privatisasi Penyuluhan Pertanian
Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan, tidak saja terlihat pada pengangkatan tenaga penyuluh, tetapi juga dalam pembiayaan kegiatan penyuluhan. Sayangnya, tidak semua penye-lenggara pemerintah memahami arti penting penyuluhan untuk kepentingan jangka pendek kaitannya dengan pencapaian target pem-bangunan, maupun kepentingan jangka panjang kaitannya dengan investasi sumberdaya manusia.
Akibatnya, kegiatan penyuluhan sangat tergantung kepada pema-haman masing-masing kepala pemerintahannya untuk menyediakan anggaran penyuluhan pertanian.
(8) Integrasi Penyuluhan Pembangunan
Dalam UU No. 16 Tahun 2006 pasal 6 (2a) dinyatakan bahwa; … penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan;
Tentang hal ini, perlu dipahami bahwa, dewasa ini, pemerintah menyelenggarakan tidak kurang dari 20 jenis penyuluhan pembangunan di pedesaan (Sutadi, 1999). Oleh sebab itu, perlu perenungan yang sungguh-sungguh, apakah penyuluhan (sektoral) pertanian masih diperlukan, ataukah hanya dikembangkan sebagai sub-sistem dari sistem penyuluhan pembangunan perdesaan secara terintegrasi dan holistik

0 komentar:

Post a Comment

Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More