ardikanto (1998; 2000) mensinyalir beberapa kelemahan dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang menyangkut banyak hal, yaitu:
1) Penggunaan Istilah Penyuluhan
Berbicara tentang penggunaan istilah penyuluhan pem- bangunan, perkembangan sejak pertengahan 1980-an, ternyata sering tidak menguntungkan kegiatan penyuluhan pembangunan itu sendiri.
Hal ini disebabkan karena, sering digunakannya/dimasyarakat-kannya penggunaan istilah “penyuluhan” oleh pihak-pihak di luar “penyuluh pertanian” (yang seharusnya layak disyukuri), kegiatan penyuluhan menjadi kehilangan mak-na, atau dalam istilah lain boleh dikatakan telah meng-alami “erosi nilai”. Sebab, banyak kalangan sering terlalu menyederhanakan pengertian dan tujuan penyuluhan.
Penyuluhan bukan lagi dihayati sebagai kegiatan yang memer-lukan kerja-keras, dan ketekunan yang melelahkan serta seringkali harus dibarengi dengan korban perasaan untuk membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri guna mempe-rbaiki kesejahteraan atau mutu-hidupnya, melainkan seringkali hanya diartikan sebagai kegiatan omong-omong tanpa makna, atau bahkan sekadar datang untuk minta tanda-tangan (bukti kehadir-annya) guna memperoleh (menipu) biaya perjalanan. Oleh sebab itu, kemudian oleh kalangan terbatas muncul pemikiran untuk mencari istilah pengganti yang lebih “segar”, bergengsi, dan menarik perhatian, tanpa menghilangkan makna penyuluhan yang sebenarnya. Istilah yang ditawarkan itu (antara lain) adalah: edfikasi yang merupakan akronim dari pokok-pokok kegiatan penyuluhan yang mencakup: edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi, koordinasi, supervisi, dan evaluasi.
2) Profesionalisme Penyuluhan
Erosi nilai dari kegiatan penyuluhan tersebut, jika ditelusuri, sebe-narnya disebabkan oleh rendahnya profesionalisme penyuluhan pem-bangunan, yang menyangkut:
a) Keahlian Penyuluh, yang oleh maraknya globalisasi infor-masi, sering ketinggalan dibanding keahlian para praktisi atau penerima manfaat penyuluhannya.
b) Kebanggaan Profesi Penyuluhan, karena jabatan fungsional yang disandang para penyuluh dinilai lebih rendah atau kalah status dibanding jabatan struktural yang lebih bergengsi dan memper-oleh (lebih) banyak kemudahan serta kesempatan memperkaya diri.
c) Etika Profesi Penyuluhan, yang tidak lagi dihayati sebagai peker-jaan yang penuh pengabdian, melainkan telah teracuni oleh kebijakan pemerintah di masa lalu, tamanya dalam pelaksanaan program GEMA PALAGUNG yang memberikan insentif sebesar 1% (dibayarkan di muka) kepada penyluh (PPL) dari jumlah nilai usulan Kredit Usahatani (KUT) yang direkomendasikan, tanpa harus menunggu efektiivitas atau seberapa jauh KUT tersebut benar-benar memberikan kenaikan produksi dan pendapatan petaninya.
3) Unsur-unsur Sistem Penyuluhan Pertanian
Berkaitan dengan unsur-unsur penyuluan, tantang-tantangan muncul dari semua unsur komunikasinya, yaitu:
a) Penyuluh, yang selama ini adalah tergolong “orang luar” (baik aparat pemerintah atau aktivis LSM) yang tidak dibayar (diangkat dan diberhentikan) oleh penerima manfaatnya. Karena itu, dalam melaksanakan kegiatannya seringkali tidak mangacu kepada kepentingan masyarakat penerima manfaatnya, melainkan lebih mementingkan keinginan pemerintah atau “visi dan misi” LSM-nya.
Di samping itu, belum terbangunnya kebanggaan profesi di kalangan penyuluh, serta rendahnya penghargaan masyarakat maupun aparat pemerintah terhadap arti penting penyuluh dan kegiatan penyuluhan.
b) Materi Penyuluhan, umumnya masih didominasi oleh materi-teknis, dan belum banyak memperhatikan kebtuhan penerima manfaatnya, utamanya tentang manajemen, permintaan pasar, kewirausahaan dan pentingnya pendidikan politik
Sumber informasi yang masih didominasi dari Dinas/Lembaga Penelitian, sementara itu, kearifan tradisional belum banyak digali bahkan cenderung tidak dihargai.
c) Metoda Penyuluhan, masih terpusat pada pemanfaatan media interpersonal dan belum banyak memanfaatkan multi-media secara proporsional.
Secara teoritis, kegiatan penyuluhan hanya mengacu kepada konsep-konsep pendidikan dan komunikasi, dan belum meman-faatkan konsep-konsep psikologi-sosial, serta pemasaran-sosial.
d) Pendekatan dan Strategi Penyuluhan
Satu hal yang layak dicermati adalah, banyak kebijakan pembangunan yang tidak menggunakan pendekatan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan.
Seiring dengan itu, kegiatan penyuluhan lebih ditekankan pada pendekatan proyek (NFCEP, NAEP, P4K, dll) yang tidak berbekas seiring dengan selesainya proyeki. Padahal, penyuluhan pembangunan mestinya menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat (community development) yang sekali dimulai, harus dilaksanakan secara berkelanjutan.
e) Efektivitas Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan, secara konseptual masih sangat konven-sional dalam arti terbatas menggunakan konsep-konsep pendi-dikan dan atau komunikasi. Tetapi, pendekatan bisnis dengan pemasaran belum banyak didisksikan, dikerjakan, dan diajarkan,
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini