Top Headlines

18 June, 2010

Undang-undang sistem penyuluhan pertanian


Sebagai tindak lanjut pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 11 Nopember 2005, pada tanggal 15 Nopember 2006 pemerintah menetapkan Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, yang mencakup:

(1) Kebijakan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(2) Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(3) Ketenagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(4) Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutan-an
(5) Pembiayaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(6) Pengawasan dan pembinaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Kehadiran Undang-undang tersebut, oleh banyak kalangan disambut dengan sangat antusias, khususnya oleh para penyuluh pertanian, karena setidak-tidaknya sudah ada landasan hukum yang kuat yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Tetapi jika dicermati, terdapat beberapa hal yang layak dikritisi, yaitu:

(1) Nomenklatur yang digunakan

Penggunaan nama Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dapat menimbulkan kerancuan pemahaman dalam masyharakat, yang sejak lama telah mengartikan pertanian dalam arti-sempit (pertanian tanaman pangan dan hortikultura) dan dalam arti-luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan).
Penggunaan nomenklatur seperti itu, sangat jelas hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, karena kebetulan di jajaran birokrasi yang sedang berkuasa terdapat 3 (tiga) Departemen lingkup pertanian, yaitu: Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, yang sewaktu-waktu dapat diganti tergantung kepada rezim yang sedang berkuasa.
(2) Kebijakan yang sentralistis

Meskipun kegiatan penyuluhan pertanian sudah diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota jauh hari sebelum reformasi, tetapi peran pemerintah nasional (pusat) dalam UU No. 16 Tahun 2006 masih sangat kuat, seperti tersebut dalam:

a) Pasal 18, tentang kelembagaan penyuluhan pemerintah
b) Pasal 21 (3), tentang peningkatan mutu penyuluh
c) Pasal 25, tentang pedoman penyusunan programa penyuluhan
d) Pasal 28 (3), tentang penetapan teknologi-tertentu
e) Pasal 33, tentang pembiayaan penyuluhan
f) Pasal 34, tentang pembinaan dan pengawasan

(3) Dominasi penyuluhan oleh pemerintah

Harus diakui bahwa, kegiatan penyuluhan pertanian selama ini lebih didominasi oleh pemerintah, baik dalam perumusan kebijakan, ketenagaan penyuluh, penyediaan sarana dan prasarana, pembiayaan, serta pengawasan dan pembinaan penyuluhan,
Terkait tentang hal ini, dominasi pemerintah masih terlihat pada pasal Pasal 28 (3), tentang penetapan teknologi-tertentu dan pasal 32 (5) tentang pembiayaan penyuluhan. Di samping itu, rencana Departe-men Pertanian untuk mengangkat tenaga penyuluh sebanyak seorang/ desa, semakin menunjukkan dominasi pemerintah dalam penyuluhan pertanian.

(4) Pengembangan penyuluhan swasta dan swadaya

Meskipun dalam pasal 20, dinyatakan bahwa tenaga penyuluh pertanian terdiri dari: penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, tetapi tidak ada satu pasal/ayat yang menyebutkan upaya pemerintah untuk mengembangkan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya. Artinya, tidak ada upaya pemerintah yang secara aktif dan sungguh-sungguh mengembangkan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya. Pada pasal 21 (2) pemerintah hanya sekadar memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan swadaya. Demikian juga, pada pasal 33 (5), pembiayaan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya hanya dapat dibantu oleh pemerintah dan pemerintah daerah

(5) Kemandirian Penyuluhan Oleh Masyarakat

Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh pemerintah. Hal ini terlihar bahwa, pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh “pangreh praja”, “pamong praja”, aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan status Pega-wai Negeri Sipil (PNS).
Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat “loyal” kepada pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya mem-peroleh penghargaan dari masyarakatnya). Sayangnya kebijakan pemerintah tidak selalu berpihak kepada petani. Bahkan seringkali campur-tangan pemerintah tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan kepentingan petani dan lebih mementingkan pemangku-kepentingan yang lain.



Share/Bookmark

0 komentar:

Post a Comment

Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More