Top Headlines

19 October, 2010

Malam Selikuran di Kraton Surakarta Hadiningrat

Sebagai sebuah negara yang besar dengani eraneka macam suku bangsa, bahasa  dan adat Istiadat. Republik Indonesia menajadi negara yang paling kaya di dunia untuk kebudayaan. Namun sayang seiring perkembangan zaman banyak budayaadat istiadat dan juga tradisi yang sudah menghilang dan luntur, karena tidak adanya usaha dari generasi muda untuk melestarikan kebudayaannya. namun ada juga daerah yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budayanya. Sebagai contoh adalah Kota Solo atau dalam nama resmi administratif Surakarta. Sebuah  kota yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo.



Sebuah kota dengan beragam tradisi dan juga keanekaragamanya, salah satunya adalah tradisi malam selikuran.  Malam selikuran dalam bahasa Jawa berarti malam ke-21 di bulan Ramadan. Tanggal itu merujuk pada turunnya Nabi Muhammad SAW dari Bukit Nur setelah menerima wahyu pertamakalinya.

Menurut Wakil Pengageng Sasana Wilapa, Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo, tradisi ini telah ada sejak zaman para wali, kemudian berlanjut pada masa Kerajaan Demak, Mataram, Kartasura, dan Surakarta. "Dulu tradisi ini dilakukan di Masjid Agung. Terapi sejak masa Sinuhun Paku Buwono X, dipindah ke Taman Sriwedari dan berlangsung sampai saat ini."
 
Dalam acara ini juga para ulama kraton surakarta, abdi dalem dan juga masyrakat berkumpul,  Lantunan hadrah berisi pujian bagi Allah SWT menemani masa penantian itu. Penantian panjang itu terjawab dengan munculnya tetabuhan tambur dan terompet khas prajurit Keraton Surakarta Hadiningrat. Sejumlah abdi dalem yang juga berbeskap putih muncul di pintu gerbang Taman Sriwedari. Mereka mengusung tiga buah joli (tandu kecil) berisi tiga buah nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya.
 
Puluhan abdi dalem berjalan perlahan mengiringi. Mereka memikul kota kayu berwarna cokelat. Menyusul di belakang, iring-iringan warga yang mengusung ratusan lampion berbagai bentuk dan warna. Nyala lampion yang berpadu suasana remang-remang di sekitar pendopo Sriwedari menciptakan sebuah keindahan tersendiri.

Setiba di pendopo, tiga buah joli dan kotak cokelat berisi seribu tumpeng itu ditempatkan. Dikelilingi para alim ulama, abdi dalem, dan beberapa pejabat yang mewakili Pemerintah Kota Surakarta. Tumpeng sewu yang juga merupakan simbolisasi permohonan itu pun didoakan.

Seperti yang sudah-sudah, tradisi ini pun diakhiri rebutan tumpeng oleh masyarakat. Mereka percaya, tumpeng itu memiliki berkah tersendiri bagi kehidupan mereka. 

Kebetulan saya pada saat itu bisa mengabadikan moment ini 













Tertarik? Kunjungi Indonesia
 





Share/Bookmark

0 komentar:

Post a Comment

Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More