Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta tau keterlibatan yang berkitan dengan keadaaan lahiriahnya (Sastropoetro;1995). Participation becomes, then, people's involvement in reflection and action, a process of empowerment and active involvement in decision making throughout a programme, and access and control over resources and institutions (Cristóvão, 1990).
Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO PNPM PPK, 2007).
Hoofsteede (1971) menyatakan bahwa patisipasi adalah the taking part in one ore more phases of the process sedangkan Keith Davis (1967) menyatakan bahwa patisipasi “as mental and emotional involment of persons of person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them”
Verhangen (1979) dalam Mardikanto (2003) menyatakan bahwa, partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsangan yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Partisipasi masyarakat merutut Hetifah Sj. Soemarto (2003) adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi kehiduapan mereka. Conyers (1991) menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama partispasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakata, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisiapsi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Hal ini selaras dengan konsep man-cetered development yaitu pembangunan yang diarahkan demi perbaiakan nasib manusia.
b. Tipologi Partisipasi
Penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat serngkali terhambat oleh persepsi yang kurang tepat, yang menilai masyarakat “sulit diajak maju” oleh sebab itu kesulitan penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat juga disebabkan karena sudah adanya campur tangan dari pihak penguasa. Berikut adalah macam tipologi partisipasi masyarakat
1). Partisipasi Pasif / manipulatif dengan karakteristik masyrakat diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi, pengumuman sepihak oleh pelkasan proyek yanpa memperhatikan tanggapan masyarakat dan informasi yang diperlukan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran.
2). Partisipasi Informatif memilki kararkteristik dimana masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, masyarakat tidak diberikesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian dan akuarasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat.
3). Partisipasi konsultatif dengan karateristik masyaakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, tidak ada peluang pembutsn keputusan bersama, dan para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagi masukan) atau tindak lanjut
4). Partisipasi intensif memiliki karakteristik masyarakat memberikan korbanan atau jasanya untuk memperolh imbalan berupa intensif/upah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajan atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan dan asyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah intensif dihentikan.
5). Partisipasi Fungsional memiliki karakteristik masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya setelah ada keptusan-keputusan utama yang di sepakati, pada tahap awal masyarakat tergantung terhadap pihak luar namun secara bertahap menunjukkan kemandiriannya.
6). Partisipasi interaktif memiliki ciri dimana masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan penguatan kelembagaan dan cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman prespektik dalam proses belajar mengajar yang terstuktur dan sisteatis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusan-keputusan merek, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegitan.
7). Self mobilization (mandiri) memiliki karakter masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebabas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-niloai yang mereka miliki. Masyarakat mengambangkan kontak dengan lembaga-lemabaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan
c. Tahap-Tahap Partisipasi
Uraian dari masing-masing tahapan partisipasi adalah sebagai berikut :
1). Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat lokal (Mardikanto, 2001).
2). Tahap partisipasi dalam perencanaan kegiatan
Slamet (1993) membedakan ada tingkatan partisipasi yaitu : partisipasi dalam tahap perencanaan, partisipasi dalam tahap pelaksanaan, partisipasi dalam tahap pemanfaatan. Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target.
Salah satu metodologi perencanaan pembangunan yang baru adalah mengakui adanya kemampuan yang berbeda dari setiap kelompok masyarakat dalam mengontrol dan ketergantungan mereka terhadap sumber-sumber yang dapat diraih di dalam sistem lingkungannya. Pengetahuan para perencana teknis yang berasal dari atas umumnya amat mendalam. Oleh karena keadaan ini, peranan masyarakat sendirilah akhirnya yang mau membuat pilihan akhir sebab mereka yang akan menanggung kehidupan mereka. Oleh sebab itu, sistem perencanaan harus didesain sesuai dengan respon masyarakat, bukan hanya karena keterlibatan mereka yang begitu esensial dalam meraih komitmen, tetapi karena masyarakatlah yang mempunyai informasi yang relevan yang tidak dapat dijangkau perencanaan teknis atasan (Slamet, 1993).
3). Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain pihak, lapisan yang ada di atasnya (yang umumnya terdiri atas orang kaya) yang lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan, tidak dituntut sumbangannya secara proposional. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau beragam bentuk korbanan lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh warga yang bersangkutan (Mardikanto, 2001).
4). Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan
Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat diperlukan (Mardikanto, 2001).
5). Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan
Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan, merupakan unsur terpenting yang sering terlupakan. Sebab tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan utama. Di samping itu, pemanfaaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang (Mardikanto, 2001).
d. Tingkat Kesukarelaan Partisipasi
Dusseldorp (1981) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut:
1). Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinannya sendiri.
2). Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi.
3). Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang tumbuh karena adanya tekanan yang dirasakan sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peranserta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Jika tidak berperanserta, khawatir akan tersisih atau dikucilkan masyarakatnya.
4). Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan.
5). Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari peraturan/ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan.
e. Syarat tumbuh partisipasi
Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
1). Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat, untuk berpartisipasi
2). Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
3). Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
Lebih rinci Slamet menjelaskan tiga persyaratan yang menyangkut kemauan, kemampuan dan kesempatan untuk berpartisipasi adalah sebagai berikut
a). Kemauan
Secara psikologis kemauan berpartisipasi muncul oleh adanya motif intrinsik (dari dalam sendiri) maupun ekstrinsik (karena rangsangan, dorongan atau tekanan dari pihak luar). Tumbuh dan berkembangnya kemauan berpartisipasi sedikitnya diperlukan sikap-sikap yang:
1) Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai yang menghambat pembangunan.
2) Sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada umumnya.
3) Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas sendiri.
4) Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan.
5) Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya
b). Kemampuan
Beberapa kemampuan yang dituntut untuk dapat berpartisipasi dengan baik itu antara lain adalah:
1) Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah.
2) Kemampuan untuk memahami kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
3) Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan serta sumber daya lain yang dimiliki
Robbins (1998) kemampuan adalah kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbins (1998) menyatakan pada hakikatnya kemampuan individu tersuusun dari dua perangkat faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
c). Kesempatan
Berbagai kesempatan untuk berpartisipasi ini sangat dipengaruhi oleh:
1) Kemauan politik dari penguasa/pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan.
2) Kesempatan untuk memperoleh informasi.
3) Kesempatan untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya.
4) Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi tepat guna.
5) Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan mempergunakan peraturan, perizinan dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan.
6) Kesempatan untuk mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Sementara Mardikanto (1994) menyatakan bahwa pembangunan yang partisipatoris tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan kesejahteraan masyarakat (secara material), akan tetapi harus mampu menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif. Karena itu setiap hubungan atau interaksi antara orang luar dengan masyarakat sasaran yang sifatnya asimetris (seperti: menggurui, hak yang tidak sama dalam berbicara, serta mekanisme yang menindas) tidak boleh terjadi. Dengan dimikian, setiap pelaksanaan aksi tidak hanya dilakukan dengan mengirimkan orang dari luar ke dalam masrakat sasaran, akan tetapi secara bertahap harus semakin memanfaatkan orang-orang dalam untuk merumuskan perencanaan yang sebaik-baiknya dalam masyarakatnya sendiri.
Mardikanto (2003) menjelaskan adanya kesempatan yang diberikan, sering merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat menentukan kemampuannya.
Gambar 1. Syarat Tumbuh dan Berkembangnya Partisipasi Masyarakat
Kemauan untuk berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup, belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk (turut) membangun. Sebaliknya, adanya kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemam-puan dan aktif memburu serta memanfaatkan setiap kesempatan. (Mardikanto,2003).
Mardikanto (2003) menjelaskan beberapa kesempatan yang dimaksud adalah kemauan politik dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembagunan, baik dalam pengambilan kepu-tusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan, dan pemanfaatan pembangunan; sejak di tingkat pusat sampai di jajaran birokrasi yang paling bawah. Selain hal tersebut terdapat kesempatankesempatan yang lain diantaranya kesempatan untuk memperoleh informasi pembangunan, kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumber daya (alam dan manusia) untuk pelaksanaan pembangunan. Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat (termasuk peralatan perlengkapan penunjangnya). Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan menggunakan peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan, dan Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan, dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat (Mardikanto,2003).
Adanya kesempatan-kesempatan yang disediakan untuk menggerakkkan partisipasi masyarakat akan tidak banyak berarti, jika masyarakatnya tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Mardikanto (2003) menjelaskan yang dimaksud dengan kemampuan di sini adalah :
1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya).
2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.
3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.
Yadav dalam Mardikanto (1994) mengemukakan adanya empat macam kegiatan yang menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu : partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan.
Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, menunjukkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan "pemerintah" kepada masyarakatnya untuk terlibat secara aktif di dalam proses pembangunan. Artinya, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, memberikan indikasi adanya pengakuan (aparat) pemerintah bahwa masyarakat bukanlah sekedar obyek atau penikmat hasil pembangunan, melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang memiliki kemauan dan kemampuan yang dapat diandalkan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (Mardikanto, 2001).
f. Pendekatan Partisipatif dan Pemberdayaan.
Dampak pendekatan partisipatif secara umum adalah sebagai berikut:
1. Program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial, ekonomi dan budaya yang sudah ada, sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini menyiratkan kebijakan desentralisasi.
2. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab diantara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya dan begitu pula program itu sendiri berkesinambungan.
3. Perlunya memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam proses, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungan jawab keputusan sehingga memberdayakan semua orang yang terlibat (terberdayakan).
4. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat.
5. Transparansi semakin terbuka lebar akibat penyebaran informasi dan wewenang.
6. Pelaksanaan proyek atau program lebih terfokus pada kebutuhan masyarakat
Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap paling tepat jika faktor-faktor determinan dikondiskana terlebih dahulu sedemikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak terdistorsi. Friedman menyatakan bahwa pemecahan masalah pembangunan melalui pemeberdayaan adalah sebagai berikut
“…involves a process of social an political empowerment whose long term objective is to rebalance the structure of power in society by making state action more accountable, strengthening the powers of civil society in the management of its own affairs, and making corporate business more socially responsible”
(Friedmann, 1992)
Empowerment is the process of increasing the capacity of individuals or groups to make choices and to transform those choices into desired actions and outcomes.
(World Bank, 2008)
World Bank dalam Bulletinnya Vol. 11 No.4/Vol. 2 No. 1 October-Desember 2001 telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung-tombak dari Strategi Trisula (three-pronged strategy) untuk memerangi kemiskinan yang dilaksanakan sejak memasuki dasarwarsa 90-an, yang terdiri dari: penggalakan peluang (promoting opportunity) fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowerment) dan peningkatan keamanan (enhancing security) (Mardikanto,2003).
World bank dalam Mardikanto (2003) menyatakan yang dimaksud dengan pemberdayaan adalah pemberian kesempatan kepada kelompok grassroot untuk bersuara dan menentukan sendiri pilihan-pilihannya (voice and choice) kaitannya dengan: aksesibilitas informasi, keterlibatan dalam pemenuhan kebutuhan serta partisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan, bertanggung-gugat (akuntabilitas publik), dan penguatan kapasitas lokal.
Dalam konsep pemberdayaan tersebut, terkandung pema-haman bahwa pemberdayaan tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan dalam pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam keselu-ruahn proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain (penyuluh, LSM, dll) (Mardikanto, 2003)
POPO, TATANG dan BANYU !
7 years ago
14 komentar:
btw sumber bukunya kok gk dicantumkan ya, so agak bingung deh jdny klo pengen tau lbh lanjut ttg teori partisipasi cs gk tau hrs baca buku yg mana
buku yang menjadi acuan adalah bersumber dari buku totok mardikanto, salah satunya berjudul redefinisi penyuluhan, penerbit puspa. tahun 2003
buku rekomendasi dari PartisipaSI
sLAMET, judul pembangunan masyarakat berwawasan partisipasi. penerbit sebelas Maret University (uNS Press)
totok mardikanto, dengan buku penyuluhan pembangunan pertanian UNS PREss Surakarta
H.S.J Somarto Inovasi partisipasi dan good governance penerbit Yayasan Obor Indonesia
atau bisa diskusi lewat email dari guru besar penyuluhan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan Bapak Prof. Dr. Totok Mardikanto, MS. di totok2907t@yahoo.com
Mas ada ga teori tentang Partisipasi Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Anak?
ada
nice blog, how about link exchange please in http://roadofvictory.blogspot.com ?
Terima kasih telah berkunjung, silakan cek alamat anda sudah kami pasang
mas minta referensi buku2nya dong tengtang yg di muat di tulisan ini.. buat bahan skripsi nih.. hehehhe
bisa pesan bukunya gak?
tolong minta perincian tahun terbit, penerbit,judul buku dan halaman yang Sastropoetro:1995, PTO PNPM PPK:2007, Mardikanto: 2003 dan Theodorson dalam Mardikanto: 1994.makasih.
admin ada buku tentang partisipatif anggota kelompok tani ga????
min, mau nanya soal teori partisipasi menurut keith davis.. kira2 admin tau ga judul bukunya apa yg isinya ttg itu? untuk bahan skripsi saya. thanks
Artikelnya sangat bermanfaat
Post a Comment
Saran dan KIritik terhadap blog ini akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan dan kekreatifan blog ini